Senin, 25 Mei 2015

Review #HalamanTerakhir dari Blog Bacaan B.Zee My Reading, My Books, My Virtual Library

Judul : Halaman Terakhir : Sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo (2015)
Penyunting : Miranda Harlan
Penerbit : Noura Books
Edisi : Cetakan I, Februari 2015
Format : Paperback, viii + 440 halaman


Yogyakarta di dekade ketiga pasca kemerdekaan menjadi saksi bisu atas kasus pemerkosaan yang dialami oleh Sumaryah, si penjual telur yang baru berusia 16 tahun. Jalanan di Jakarta tahun 1970an ikut menjadi saksi bisu atas mobil-mobil mewah yang tiba-tiba memenuhinya. Dan Mabak Polri (Markas Besar Kepolisian) saat itu, punya kisahnya sendiri.

Kasus Sumaryah terjadi pada suatu senja yang sepi. Saat sedang berjalan sendirian, gadis lugu itu dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil, dibius, dan digilir oleh tiga laki-laki di dalam mobil tersebut. Tidak ada saksi mata, hanya kelebatan ingatan Sumaryah saat sekali waktu dia tersadar, atau mungkin saat sedikit kesadarannya masih ada. Mulanya, kasus ini semacam kejahatan biasa, tetapi sejak Djaba Kresna, jurnalis harian Pelopor, mengangkat kasus ini dalam tulisan-tulisannya, serta menerbitkan dugaan-dugaan berikut investigasi amatirnya, kasus ini semakin ramai, hingga terdengar di Jakarta. Kesimpulan Kresna mengarah pada sebuah keluarga yang cukup berada, mengingat jenis mobil yang cukup mewah, serta deskripsi yang cocok dengan yang dikatakan oleh Sumaryah. Namun, kepolisian daerah dan pengadilan semacam mencari-cari celah tidak logis, serta menempatkan Sumaryah—yang notabene adalah korban—seperti penjahat itu sendiri. Hal ini semakin menguatkan adanya ‘permainan’ yang dilakukan untuk melindungi pihak-pihak tertentu. Oleh karena rumitnya kasus ini, Hoegeng sampai-sampai mengirim tim investigasi khusus dari Jakarta untuk membantu.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Polri sedang meyelidiki kasus penyelundupan mobil-mobil mewah. Rangkaian penyelidikan panjang, penyamaran, hingga pengejaran sudah dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Akan tetapi, ternyata kejahatan beromset puluhan juta rupiah ini teramat kuat untuk ditangani sendirian. Banyak pihak yang sudah terlanjur terlibat, dari dalam maupun luar negeri, dari petugas rendahan hingga pejabat. Pihak-pihak inilah; pihak-pihak yang ingin melindungi dirinya, pihak-pihak yang tak ingin kehilangan pendapatan tambahan yang sangat besar, yang sulit untuk dihentikan karena proses hukum yang berjalan belum bisa menghentikan mereka. Tantangan ini tak bisa dihadapi dengan cara-cara yang biasa.

Dua kasus tersebut dipilih oleh penulis sebagai sarana untuk menceritakan kisah hidup Jenderal Polisi Hoegeng yang pada saat itu menjabat sebagai Kapolri. Hoegeng yang dikenal dengan kejujuran dan ketegasannya cukup tercermin dari caranya menangani kasus-kasus ini. Tak sebatas itu saja, penulis juga dengan lihai menyusun sekilas potret-potret penting dari perjalanan hidup Hoegeng, mulai dari masa kanak-kanaknya, perjalanan pendidikan dan karirnya, kehidupan pribadi, serta—yang utama—peranannya dalam kepolisian yang mengantarkannya menuju kursi Kapolri.

Cara penulisan buku ini cukup mudah diikuti, dengan bab-bab pendek, bahasa yang mengalir, ritme yang teratur, hingga tak memerlukan waktu lama bagi saya untuk menyelesaikannya. Walaupun bukan jenis buku yang kisahnya akan mengejutkan kita, sesekali terselip juga adegan-adegan seru seperti pengejaran yang digambarkan dengan detail, termasuk bagaimana cara penulis mengakhiri kisah ini cukup membuat saya ingin segera menyelesaikan membacanya, apalagi bagian sejarah ini cukup asing untuk saya. Ini bukan kali pertama saya membaca fiksi sejarah karya penulis, tetapi perasaan bahwa fakta-fakta sejarah ditampilkan dengan terlalu kaku masih ada, meskipun tak sebanyak yang sebelumnya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Orde Baru menyimpan kisah-kisah kebobrokan moral dan sosial di kalangan para pejabat. Buku ini menegaskan beberapa di antaranya; budaya suap-menyuap, KKN, sampai pada pembungkaman pers. Hoegeng sebagai karakter yang jujur termasuk sosok yang langka. Prinsipnya untuk menolak pemberian yang berpotensi sebagai suap, juga kehati-hatiannya dalam mengambil keputusan pribadi yang berpotensi sebagai penyalahgunaan jabatan, memaksa keluarganya untuk hidup sederhana.

“Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan. Akan terasa sedikit gatal, lantas kita akan menggaruknya pelan-pelan dengan rasa nikmat luar biasa. Makin sering dan makin banyak diterima, gatal itu akan semakin intens, menggaruknya pun harus semakin keras, hingga bernanah. Karena itu, jauhi kuman dan upayakan untuk jangan sampai menempel pada bagian tubuh kita. Uang akan membuat tubuh kita selalu gatal bagai luka korengan.” (hal.131)

Namun, keberadaan sosok semacam Hoegeng adalah duri dalam daging bagi pihak lain yang terlibat dalam ‘permainan kotor’ bisnis dan politik. Pencopotan Hoegeng sebagai Kapolri pada akhirnya tak lepas dari unsur tersebut. Realitas yang sampai saat ini tidak langka di negara kita, kejujuran seringkali dikalahkan oleh kewenangan dan kebiasaan, meskipun itu salah. Hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, mentalitas menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dan budaya yang mengagungkan hedonisme di atas harga diri.

Buku ini bisa jadi salah satu dari sekian buku yang merekam Indonesia di masa Orde Baru. Buku yang menunjukkan sekelumit alasan mengapa kekuasaan yang berlangsung selama 32 tahun menghasilkan masalah yang masih dialami sampai sekarang. Meski tidak secara terang-terangan mengkritik pemerintahan Presiden Soeharto pada masa itu, buku ini memberi petunjuk-petunjuk kecil tentang apa yang mungkin luput dari pengetahuan masyarakat kala itu. Apalagi sebagian besar masalah itu sudah berakar sejak zaman penjajahan, dan dipupuk sampai sekarang.

4/5 bintang untuk Jenderal Polisi yang layak dijadikan panutan dan sepaket kritik sosial yang halus.


https://bacaanbzee.wordpress.com/2015/05/24/halaman-terakhir/#comment-4642

Review #HalamanTerakhir dari Blog H23BC BLOG BUKU HAREMI

karena gak bisa dicopas, jadi bisa langsung meluncur saja ke sini:

http://www.h23bc.com/2015/05/halaman-terakhir.html

TIGA JALINAN KEJUJURAN, oleh: BENI SETIA, dimuat di Lampung Post 17 Mei 2015



         BUKU Yudhi Herwibowo, Halaman Terakhir: Sebuah Novel tentang Jenderal Pol-si Hoegeng, Jakarta: Noura Books, 2015, merupakan satu oplosan--ada fakta dan banyak fiksi. Fakta merujuk pada sosok fenomena idealistik di tengah zaman yang amat mencari keuntungan dengan mempersetankan yang lain, sedangkan fiksi merujuk pada bagaimana imajinasi dan dramatisasi bermain dalam rentang waktu dan fakta tak terbantah tak boleh diubah dari postulat antara titik mula A dengan titik akhir O. Fakta karier polisi Hoegeng, dan fiksionalisasi bagaimana suka dan duka itu sengaja digenangi dengan dramatisasi.
         Di titik ini, novel-biografi Halaman Terakhir--selanjutnya HT--, maju menceritakan karier Hoegeng, dan sekaligus data-data dari fakta yang membuat Hoegeng terpojok serta membentur karang, sehingga kariernya mandeg--bahkan disisihkan--, yang dengan sangat sengaja disamarkan. Hal yang membuat generasi muda yang yang tak pernah mengalami era Orba masa 1970-an awal tidak bisa mengenalinya sebagai fakta terselubung, bahkan (mungkin) menganggapnya melulu angan-angan--upaya membentuk model ditektif tidak jelas, penokohan summir dari polisi yang dicoba jadi semacam Simon Templar. Yang tak kesemapaian dan jadi lebih buruk dari sekedar sosok sepion Melayu, misalnya.
         Memang. Tapi pemiksian itu--setidaknya hal nama--sesuatu yang sengaja dilakukan dan terpaksa diambil oleh pengarang, karena ia tahu ada sesuatu yang membuat semua itu tidak selesai. Dan kalaupun terpaksa dilakukan tindakan, maka itu dengan kondisi sangat terbatas, dengan pengaburan canggih buat melindungi sesuatu--sekaligus semua laku dan tindakan dilakukan agar yang dilindungi aman. dan kontrol agar semua hal tak dibongkar karena tak boleh dibuka sampai kapanpun. Tak heran kalau si pengarang, ketika mencari data, diingatkan agar berhati-hati, bahkan diingatkan ihwal adanya si sesuatu yang kuasa bertindak kasar karena kepentingan serta citra diri tidak ingin dibongkar--karena itu tidak boleh disinggung-singgung danterlebi kalau dibongkar.
         Tapi apa itu? Jawabannya barangkali ada di ujung link internet, di ujung dari suatu kesungguhan mencari data dari pemberitaan dan opini yang ketika itu dikembangkan di beberapa media masadi daerah dan nasional yang kini tersimpan di meuseum pers, serta sekaligus memahami apa yang memang dibungkam hingga seorang Hoegeng disisihkan-- sampai meninggal dalam posisi tersisih. Sebuah kekuatan besar yang sebenarnya dilawan Hoegeng--sekaligus tidak bisa dilawan--, dan karena itu tragika Hoegengpun mengemuka dalam sakralisasi--seperti yang dinyatakan almarhum Gus Dur, ” .. hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polsi,polisi tudur, dan pak Hoegeng …”
         Detail apa yang dilakukan Hoegeng--adagium ”Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.,”--hingga ia tersisih? Novel HT, secara sederhana, dan serentak--meski terkondisi keterbatasan teks hingga ada pembabakan-: mengisahkan tiga peristiwa dalam pilinan besar yang bertumpu di sejarah hidup Hogeng. Itu jangkar, di mana hal faktual eksistensial itu memilin dua kisah yang mebuat sejarah hidup dan karier Hoegeng berubah, dan dua kisah itu--yang sangat sadar disamarkan hingga jadi semacam fiksi dengan sentuhan-sentuhan dramatisasi--adalah peristiwa lokal di Yogyakarta, dan si peristiwa kriminal berdasi di Jakarta. Sederhana, tapi jadi rumit karena sengaja diperumit oleh tokoh berpangaruh, pembuat skenario pengaburan dengan melibatkan banyak pihak.
          Ada konspirasi, pem-backing-an yang membuat segalanya ada dalam ketakjelasan.
Yang di Yogya menyangkut kenakalan remaja--meski dilakukan oleh brandal yang telah berkeluarga--, dalam ujud pencegatan dan pemerkosaan, tapi kekerasan itu menjadi kabur karena dikaburkan berhubung pelakukanya keluarga berada, si berpengaruh--baik abatan resmi dan sosok kedaerahan--, yang harus dilindungi. Sedangkan sosok si preman murni penenggak ciu--dan traumatik, hingga membuat pengakuan tertulis--, segera diamankan, dikondisikan ”tak sehat” karena mengalami delusi--sebenarnya traumatik. Si orang yang selamanya terpaksa dirawat di RSJ, sehingga pengakuannya tak bisa dianggap kebenaran. Sistimatik--tidak terbantah--, meski terus melentikkan tanda tanya. Benarkah?
         Sedangkan pengakuan memang ada mobil kombi merah berkeliaran, dari saksi lugu yang syir pada korban, dirubah jadi pengakuan pesetubuhan suka sama suka? Benarkah?
Akhirnya padam sendiri,dengan pendekatan psikologis dari ahli terpilih menyugesti: agar
korban mengikuti skenario resmi agar ia terbebas dari pemberitaan serta interogasi. Apa skenario itu juga yang dijalankan pada kasus Oedin Bernas? Kita tidak tahu, tapi polanya sepertinya sama. Itu kasus yang sampai saat ini tak terpecahkan, karena dikelola agar tak terpecahkan--jadi yang berkode x-file, meski tersimpan di rak utama hukumullah. Sedang yang di Jakarta, menyangkut tokoh yang melakukan penyelundupan mobil mewah lewat manipulasi lihay pada data ekspor, sehingga negara kehilangan potensi pendapatan bila si ekspor itu dilakukan secara sah.
         Bisa dibongkar, pelakunya ditangkap tapi peristiwa itu mengambang karena campur tangan gaib per-bacing-an, bahkan pelaku bisa kembali lagi menyeledup tanpa rasa takut apa-apa. Di titik ini suatu penyergapan membuat pelaku tertangkap basah, konspirasi bisa dibongkar paksa, tapi itu hanya terbatas karena aspek backing yang mat kuat--bahkan itu yang membuat Hoegeng disisihkan. Mengerikan sekali. Terlebih kita percaya, kalau HT itu menyiratkan: hal seperti itu masih berlangsung di Indonesia, dengan tarap yang sama seperti itu, dan kemungkinan malahN lebih parah lagi. Di titik ini, telah merdekakah kita, atau malah justru terjatuh ke tangan para begal?***


BENI SETIA. Pengarang
Rekening: BCA KCP Caruban No 3281012663