Selasa, 09 Juni 2015

Membaca Hoegeng, Membaca Indonesia, oleh Setyaningsih di Koran Kedaulatan Rakyat 7 Juni 2015





Judul buku      : Halaman Terakhir
Penulis             : Yudhi Herwibowo
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, Februari 2015
Tebal               : viii+436 halaman
ISBN               : 978-602-7816-65-7

Peta kejujuran kepolisian Indonesia pernah dirute oleh sosok Hoegeng. Satu Jenderal Polisi Hoegeng, harapan Indonesia jujur, berani, dan bermartabat adalah keniscayaan. Lewat novel ini, Yudhi Herwibowo menampilkan sosok Hoegeng tidak hanya sebagai atasan yang memberikan kepercayaan bagi anak buah untuk bekerja bagi Indonesia. Hoegeng juga sosok bapak dan suami yang menasbihkan kejujuran sebagai pedoman hidup.   

Hoegeng memiliki empat nama. Abdul Latif adalah nama pemberian seorang peramal, kawan ayahnya. Nama Hoegeng Iman Santoso adalah nama pemberian ayah. Eyang putri dari pihak ibu menamai Hoegeng Iman Soedjono. Buyut memberi nama, Hoegeng Iman Waskito. Namun, Hoegeng lebih menyukai nama “Hoegeng” saja yang menurutnya tidak mengandung  misi terlampau berat. Bahkan, nama ini bermula dari nama panggilan “si bugel” karena Hoegeng memiliki tubuh gemuk. Panggilan ini kelamaan menjadi “Boegeng” dan akhirnya menjadi Hoegeng.

Imajinasi polisi di benak Hoegeng bermula dari kawan ayahnya bernama Ating Natadikusumah, Kepala Jawatan Kepolisian yang sering mampir ke rumah. Visualitas sang polisi begitu memesona di mata Hoegeng kecil. Seragam dinas menampakkan kegagahan, apalagi saat itu Ating mengendarai Harley Davidson yang keren. Ditambah pistol terselip di pinggang merawat ingatan Hoegeng untuk kelak menjadi polisi. 

Dari hidup Hoegeng, pembaca insaf bahwa jalan hidup kepolisian sering berliku dan banyak godaan. Hoegeng menolak “hadiah selamat datang” saat ditugaskan sebagai kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatra Utara pada 1955. Hoegeng mengharamkan barang sogokan untuk melicinkan segala tindak penggelapan, penyelundupan, korupsi. Di masa Orde Baru, Hoegeng yang menjabat Kapolri membentuk tim penyelidik untuk kasus perkosaan dialami Sumaryah di Yogyakarta yang justru dituduh membuat pengakuan palsu oleh kepolisian daerah.

Sadar, kejujuran dan keberanian Hoegeng adalah ancaman yang bakal menghancurkan stabilitas “keamanan” dari para penguasa. Ada kejujuran yang nyaris kalah. Hoegeng akhirnya memilih keluar ketimbang menerima posisi sebagai Duta Besar Kerajaan Belgia yang berarti “pembuangan” diri agar tidak mengganggu jalan kelicikan. Membaca Hoegeng adalah membaca Indonesia di saat kejujuran menjadi laku langka.



Review Halaman Terakhir, oleh Desti Nugrainy di Blog Desti Baca Buku

Judul Buku : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Halaman : 448
Penerbit : Noura Books

Jika penulis buku ini mengatakan di pengantar-nya, ‘saya mungkin terlambat’, maka saya sebagai pembaca jelas sudah terlambat. Jujur saja, saya baru mendengar nama seorang Hoegeng. Tapi dua kisah utama di dalam buku ini, Sum Kuning dan Penyelundupan Mobil Mewah, saya pernah mendengar dan mengetahuinya meski hanya samar-samar. 

Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, menjabat sebagai Kepala Polisi Negara (sekarang disebut sebagai Kapolri) pada awal masa Orde Baru. Kala itu, di Yogyakarta ada sebuah kasus penculikan dan pemerkosaan seorang gadis penjual telur bernama Sumaryah. Menurut keterangan korban, dia diculik dan diperkosa oleh empat orang pria di dalam sebuah mobil Kombi berwarna merah. Masa itu tidak banyak orang yang mempunyai kendaraan roda empat mewah, apalagi berwarna merah yang mencolok. Dengan bantuan seorang wartawan, Djaba Kresna, kisah Sumaryah mulai menjadi pusat perhatian.

Sayangnya, polisi di Yogyakarta menilai laporan Sumaryah adalah palsu. Ketika Djaba Kresna menyelidiki kasus ini lebih lanjut, ternyata ada salah satu pelakunya masih kerabat dekat “orang penting” yang punya koneksi ke Kepolisian. Wajar saja, kasus ini lantas dibelokkan. Namun jauh di Jakarta, Hoegeng merasakan ada yang janggal dari cara bawahannya menyelesaikan kasus ini. Dia lantas membentuk tim khusus untuk menyelidikinya.

Di saat yang hampir bersamaan, Hoegeng juga sedang menangani kasus penyelundupan mobil mewah oleh seorang broker bernama Soni Cahaya. Ketika polisi sudah berhasil melakukan penyergapan dan menangkap Cahaya, ada pihak lain yang memberikan jaminan kebebasannya. Hasil penyelidikan memaparkan fakta bahwa ada banyak pejabat yang ikut terlibat dalam kasus ini, salah satunya adalah keluarga Cendana.

Dua kasus yang tidak terselesaikan bagi Hoegeng ada pada saat akhir masa jabatannya. Dua kasus yang (mungkin) memegang andil datangnya surat khusus yang menyatakan jabatan Hoegeng dialihkan menjadi Duta Besar Kerajaan Belgia. Seorang polisi jujur semacam Hoegeng tidak serta merta menerima isi surat tersebut. Dia memilih untuk keluar dari Kepolisian.

Membaca semibiografi Hoegeng di kala pemberitaan mengenai adanya kisruh antara dua lembaga penegak hukum (KPK dan Polri) membuat saya ingin sekali sosok Hoegeng ini kembali hadir di dunia nyata. Beliau sendiri telah berpulang ke Yang Maha Kuasa pada tahun 2004, setelah menjalani masa pensiun yang terkekang. Novel ini membantu saya mengenal seorang sosok polisi jujur yang pernah mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini.
“Selesaikan saja tugasmu dengan kejujuran. Karena, kita masih bisa makan nasi dengan garam.”
Novel semibiografi ini tidak membosankan bagi saya. Diwarnai kasus Sumaryah yang menyinggung masalah HAM bagi kaum kecil membuat saya penasaran bagaimana akhir dari kasus ini. Mungkin ada dari kalian yang pernah menonton film Perawan Desa, sedikit mendapat gambaran dari kasus ini. Sum Kuning atau Sumaryah dalam novel ini mewakili golongan rakyat kecil yang tidak bisa melawan kekuasaan besar. Peran wartawan dalam kasus ini juga memberi andil dan mewarnai gejolak kecil di awal Orde Baru. Namun seperti yang sudah kita ketahui bersama, Orde Baru adalah masa dimana kekuasaan satu pihak bisa membungkam satu negeri.

Saya sempat iseng bertanya pada suami saya, sebelum membaca buku ini apakah dia tahu siapa Hoegeng. Ternyata dia tahu…#ups. Saya merasa harus berterima kasih kepada penulis karena telah menghadirkan novel ini. Seandainya novel ini tidak ada, mungkin saya tidak akan mengenal siapa Hoegeng, seorang polisi jujur.

4 stars


Review Halaman Terakhir, oleh Tezar Yulianto di Blog Membaca Buku

Judul: Halaman Terakhir
Penulis: Yudhi Herwibowo
Editor: Miranda Harlan
Penerbit: Nourabooks
Cetakan: 1, Februari 2015
Jumlah Halaman: 436
ISBN: 9796027816657

Saya memang kuper. Baru tahu sosok Jenderal Polisi Hoegeng ketika menyaksikan episods Kick Andy yang membahas tentang sosoknya. Episode yang membuat mas Yudhi Herwibowo akhirnya berinisiatif untuk melahirkan karya ini, Halaman Terakhir, sebuah novel yang menceritakan sosok Hoegeng, polisi terjujur di dunia.

Dari episode Kick Andy tersebut saya mengetahui bahwa Hoegeng adalah sosok yang bersih, jujur dan luar biasa. Di buku inilah detail-detail tersebut, diungkap oleh sang penulis.
Ada 2 kasus, diangkat dalam buku ini, yang memberikan tekanan 'maha berat' untuk Hoegeng, dalam posisinya sebagai kapolri yang bersih, kasus pemerkosaan Sumaryah, gadis ndeso, penjual telur di Yogyakarta, dan kasus penyelundupan mobil-mobil mewah oleh pengusaha Soni Cahaya. Sebenarnya kedua kasus tersebut bisa diselesaikan oleh jajaran kepolisian bawahan Hoegeng tetapi ketetlibatan tangan-tangan yang tak tersentuh membuat posisi Hoegeng menjadi dilema. Mundur salah, maju kena. Namun integritas Hoegeng memang sangat luar biasa. Dan kelokan-kelokan kelibatan kasus-kasus tersebut diceritakan dengan menarik oleh penulis.

Meski mengangkat kisah nyata, memang buku ini diolah menjadi sebuah karya fiksi. Saya suka ketika mas Yudhi mengangkat kisah faktual ini menjadi gaya fiksi. Tak terlalu berat sehingga mudah ditangkap. Namun sayangnya, di beberapa sisi, detail cerita menurut saya agak berlebihan untuk sebuah karya fiksi. Tapi secara keseluruhan, bagaimana mas Yudhi memotong alur cerita untuk menggantikan dengan bagian cerita yang lain, keberanian untuk berputar sejenak menceritakan bagian hidup Hoegeng, serta pembagian bab yang tak terlalu panjang isinya, menjadikan buku ini enak diikuti dan tak membuat cepat jenuh membacanya.

"Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik." (Hoegeng)
Kutipan di atas, yang dimuat di cover buku, menunjukkan bagaimana Hoegeng menjalankan tugasnya sebagai seorang polisi. Dan memang akhirnya sejarah membuktikan bahwa Hoegeng menorehkan kiprahnya sebagai orang yang baik. Saya merasa senang sebagai warga Indonesia yang memiliki sosok beliau dalam salah satu episode perjalanan bangsa. Dan beruntung membaca buku ini karena dengannya saya bisa memiliki pengetahuan tentang sosok baik itu.




http://kumembaca.blogspot.com/2015/05/halaman-terakhir.html