Buku tentang Jenderal Polisi
Hoegeng ini adalah satu dari sedikit buku yang seperti memaksa saya untuk
segera menuliskan review begitu selesai membacanya. Jenis buku bergizi yang
entah telah mengubah saya ataupun memberikan sesuatu yang baru setelah
membacanya. Begitu sampai pada halaman terakhir buku ini, saya segera sadar
kalau buku ini harus banyak dibaca oleh semakin banyak gerenasi muda. Terutama
kami yang lahir di era 90-an sebagai generasi yang mengalami baik masa orde
baru, masa reformasi, hingga Indonesia Baru seperti saat ini. Harusnya, ada
lebih banyak orang yang tahu tentang sepak terjang seorang jenderal legendaris
bangsa, salah satu dari tokoh polisi terbaik yang pernah dimiliki oleh
Indonesia, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso.
“Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan
bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya.” (hlm 375)
Halaman Terakhir bisa diibaratkan
semacam novel semibiografis dari Hoegeng. Disusun dan ditulis oleh Mas Yudhi
Herwibowo berdasarkan sumber-sumber sejarah tertulis serta lisan, melalui riset
yang teliti, serta proses penulisan yang pantang menyerah. Tidak heran kalau Halaman Terakhir ini terasa begitu
mengalir dan sukses membuat saya terharu setelah membacanya. Jarang sekali saya
membaca novel biografis, sepertinya baru On
Writing-nya Stephen King. Bayangan saya, novel seperti itu pasti akan
membosankan dan membikin jemu. Tapi, tidak dengan Halaman Terakhir. Kepiawaian Mas Yudhi Herwibowo yang telah teruji
dalam meracik cerita telah menjadikan novel tebal ini tak membosankan sama
sekali. Ceritanya, walaupun bersetting tempo dulu dan sangat berkaitan dengan
tema-tema politik, dituliskan dengan begitu mengalir, tetap rapi, dan membikin
penasaran. Tidak butuh lebih dari satu hari bagi saya untuk menyelesaikan
membaca buku ini.
Di setiap keinginan yang kuat, semesta
kemudian mengambil peran.” (hlm. 66)
Siapakah
Jenderal Hoegeng? Jujur, saya tidak mengetahui banyak tentang sosok hebat ini
sebelum membaca Halaman Terakhir. Nama
beliau mungkin pernah saya dengar, tapi tentang sepak terjangnya, baru di novel
ini saya mengetahuinya. Dalam catatan di halaman terakhir novel ini, Mas Yudhi
sempat menyinggung beberapa buku tentang Hoegeng yang sudah terbit lebih dulu
(dan kemudian turut menjadi referensi penulisan novel ini). Tapi, biasanya
buku-buku biografi seperti itu ditulis dengan gaya nonfiksi yang (mungkin)
membosankan sehingga saya mungkin hanya akan melewatkannya suatu ketika saat
melihat buku seperti itu di rak sebuah perpustakaan tua. Karena itulah, sangat
penting untuk menulis buku-buku biografi sejenis Halaman Terakhir ini agar semakin banyak generasi muda yang mau
membaca sepak terjang orang-orang hebat yang mungkin tidak pernah mereka
ketahui sebelumnya. Padahal, orang-orang hebat itu benar-benar pernah dan
mungkin masih ada.
“Keteguhan akan sikap yang benar selalu terbayar sepadan.” (hlm
160)
Mas Yudhi
menggunakan dua kasus besar tak terselesaikan (atau terselesaikan tapi tidak
memuaskan) sebagai pembangun alur utama dari Halaman Terakhir. Kasus pertama adalah kasus pemerkosaan Sumaryah
yang menggeggerkan Yogyakarta pada tahun 1970-an. Kedua adalah kasus
penyelundupan mobil mewah oleh Soni Cahaya. Melalui kedua kasus inilah penulis
kemudian secara tertata dan begitu sabarnya menyisipkan semacam biografi dari
Hoegeng. Siapa beliau, asal-usul dan riwayat pekerjaannya, suasana kantornya,
tindak-tanduk beliau yang begitu menjunjung tinggi kejujuran dan prinsip
keadilan, serta orang-orang yang dekat dengannya. Kebetulan, kedua kasus inilah
yang menjadi dua kasus tak terselesaikan yang sempat mewarnai akhir masa bakti
beliau. Dua kasus yang seharusnya bisa menjadi penutup sempurna bagi kariernya
sebelum tangan-tangan kekuasaan turut campur dan membuat Hoegeng tersingkir.
Dengan segala kekuatannya, terkadang kebaikan tetap saja kalah (atau dipaksa
mengalah). Tapi, percayalah, hari pembalasan itu pasti akan tiba.
“Pada akhirnya, siapa yang bersalah akan
menerima ganjarannya.” (hlm 418)
Ketika
sebuah buku biografi ditulis dengan apa adanya, bisa dijamin pembaca akan cepat
bosan dan segera meletakkannya, atau buku itu dibaca tapi lama sekali
selesainya. Tapi, tidak dengan Halaman
Terakhir. Perpaduan apik antara drama, cerita kehidupan, dan narasi sejarah
yang dipadu apik dalam buku ini seperti terus memukau saya hingga halaman
terakhirnya. Layaknya sebuah novel, ada naik dan turun dalam buku ini. Ada
unsur seru, unsure kejutan, juga tambahan adegan-adegan detektif yang sangat
menegangkan. Sama sekali tidak membosankan saat membacanya. Memang, di
bagian-bagian depan (misalnya di halaman 17 dan 58) penulis seperti lupa kalau
sedang menulis novel sehingga narasi sejarahnya telanjur kebanyakan. Tapi,
semakin ke belakang, kecenderungan “menuliskan teks sejarah” ini semakin hilang
sampai akhirnya penulis dengan luwesnya berhasil menceritakan sebuah sejarah
tanpa memunculkan rasa “membaca buku teks.” Kita harus berterima kasih kepada
Djaba Kresna dan Jati Kusuma.
“Ada kalanya seseorang memang tak lagi bisa
melawan, sekeras apapun ia berusaha.” (hlm 407)
Djaba
Kresna adalah wartawan dari surat kabar Pelopor
yang begitu aktif memberitakan kasus pemerkosaan Sumaryah. Kejadian tragis
yang konon dilakukan oleh anggota keluarga sejumlah pembesar negeri ini
terkesan ditutup-tutupi oleh sejumlah pihak. Hanya Djaba Kresna satu-satunya
yang berani menuliskannya sebagai berita dengan sudut pandang yang sama sekali
tidak tunduk oleh tekanan pihak manapun selain murni dari pengakuan sang
korban. Dari tokoh inilah, novel ini terasa bergerak cepat ibarat sebuah novel thriller yang seru. Sementara tokoh
kedua adalah Jati Kusuma, salah satu bawahan Hoegeng yang menjadi kepercayaan
beliau dalam menangani kedua kasus besar tersebut. Dari petualangan dan sepak
terjang keduanyalah sehingga pembaca bisa merasakan naik turunnya cerita
sehingga pembaca tidak cepat bosan.
Ketika
saya tiba pada halaman terakhir di novel ini, semacam perasaan haru dan kagum
mulai terbit terhadap sosok yang baru saya ketahui sepak terjangnya di novel
ini. Semacam muncul rasa kerinduan untuk bisa meneladani sikap beliau,
mencontoh prinsip-prinsip hidupnya yang penuh kejujuran, serta jasa beliau yang
telah mengharumkan nama kepolisian. Bahwa sosok sehebat Jenderal Polisi Hoegeng
pernah ada, dan hal ini seharusnya akan memunculkan inspirasi kepada para
generasi muda bahwa tidaklah mustahil untuk menjadi orang baik meskipun dunia
tengah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak baik. Menjadi jujur sebagaimana
beliau, semoga kita bisa meneladani tokoh hebat ini.
“Selesaikan saja tugasmu dengan kejujuran. Karena, kita masih bisa
makan nasi dengan garam.” (hlm 374)
http://dionyulianto.blogspot.com/2015/04/halaman-terakhir.html