Judul : Halaman Terakhir, Sebuah Novel
tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Terbit : Februari 2015
Tebal : 436 Halaman
ISBN : 978-602-7816-65-7
“Adalah
baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,”
ungkap mendiang mantan Kapolri Jenderal Hoegeng. Sebuah fakta sejarah
bisa saja menjadi menarik dibaca (kembali) dalam narasi lain. Novel
sebagai karya fiksi yang mengandung imajinasi dan ciptaan khayali
pengarang, tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran
sejarah.
Namun,
sebuah novel bisa saja diterima sebagai salah satu dokumen sejarah,
betapa pun merupakan sebuah fiksi. Sebab dia ditulis berdasarkan
penggalan-penggalan kisah nyata dan fakta-fakta sejarah.
Novel
tentang Hoegeng ini sebuah kisah sejarah tentang seorang pemimpin
tertinggi Polri yang dikenal dan dikenang karena kesederhanaan,
integritas, dan kejujurannya. Tidak hanya itu. Novel juga mengungkap dua
peristiwa besar yang melingkupi perjalanan karir Hoegeng Iman Santoso,
sang Jenderal Polisi, sehingga dipensiunkan dini. Dia terpaksa melepas
jabatannya sebagai Kapolri.
Penculikan
dan pemerkosaan Sumarijem atau Sum Kuning yang diduga melibatkan anak
penggede serta penyelundupan mobil mewah oleh Robby Cahyadi terjadi di
awal Orde Baru. Itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Ini berarti dua tahun
setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 27
Maret 1968. Dua peristiwa inilah yang menjadi latar cerita novel.
Kisah
bermula pada tokoh bernama Sumaryah, gadis 16 tahun penjual telur dari
Desa Djetak, Godean, Sleman, Yogyakarta. Semua seharusnya baikbaik saja
bagi Sumaryah. Namun, pada suatu sore menjelang senja, sehabis berjualan
telur dan mendapat hasil tagihan dari pelanggannya, Sumaryah mengalami
peristiwa yang jika bisa ingin dilupakannya seumur hidup. Di jalanan
desanya yang sepi, Sumaryah dinaikkan ke dalam mobil oleh empat pemuda,
lalu diperkosa (hal 6).
Penculikan
dan pemerkosaan gadis desa yang kemudian menggegerkan Yogyakarta ini
sempat menjadi isu nasional ketika itu. Bahkan sempat membuat Presiden
Soeharto turun tangan (hal 216). Korban pemerkosaan, Sumaryah (Sum),
malah ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sum dianggap berbohong.
Laporannya dianggap sebagai palsu.
Meski terpisah ratusan kilometer, kasus itu tetap menggetarkan kesatuan
polisi pusat di Jakarta, dan membuat gerah Hoegeng, sang Kapolri.
Setelah menggali amat dalam, ganjalan besar terus saja menghalangi usaha
menemukan pelaku. Berbagai gangguan mengalihkan penyidikan dari bukti
dan fakta.
Inilah
yang mengganggu Hoegeng sebagai Kapolri. Belum usai berjibaku dengan
para pelaku penculikan dan pemerkosaan, terjadi penyelundupan mobil
mewah besar di Jakarta. Keterlibatan putra seorang pejabat tinggi di
tanah air membuat kasus ini sulit disentuh dasar masalah. Para pelaku
telah mengantisipasi langkah Hoegeng dan anak buahnya, semakin dalam
penyelidikan, semakin bukti-bukti menghilang.
Kasus-kasus
itu membebani nurani Hoegeng dan menguji integritasnya sebagai polisi.
Dua kasus ini cukup menyita energinya dan tidak terbuka, sampai dia
dicopot dari Kapolri (hal 361-2). Tentu saja otensitas data dan fakta
tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis. Ada nama-nama yang
dibiarkan apa adanya seperti Soeharto dan Adam Malik. Ini menegaskan
nuansa sejarah novel.
Novel ini menarik karena rangkaian peristiwa ditulis mengalir lancar,
meskipun ada beberapa penggambaran moment sejarah yang terlalu detail.
Hal seperti ini tidak perlu dimasukkan seluruhnya ke dalam cerita.
Namun
itu tidak mengurangi mutu novel dan tujuan karya. Novel ini bisa
menjadi pengingat sosok Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, sebagai
pemimpin dan pejabat negara yang sederhana, jujur, dan lurus.
Prinsipprinsipnya rasanya memang sulit ditemukan pada tahun-tahun
belakangan. Diresensi Denny YF Nasution, staf ahli anggota DPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar