Judul : Halaman Terakhir, Sebuah Novel
tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Terbit : Februari 2015
Tebal : 436 Halaman
ISBN : 978-602-7816-65-7
“Adalah
baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,”
ungkap mendiang mantan Kapolri Jenderal Hoegeng. Sebuah fakta sejarah
bisa saja menjadi menarik dibaca (kembali) dalam narasi lain. Novel
sebagai karya fiksi yang mengandung imajinasi dan ciptaan khayali
pengarang, tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran
sejarah.
Namun,
sebuah novel bisa saja diterima sebagai salah satu dokumen sejarah,
betapa pun merupakan sebuah fiksi. Sebab dia ditulis berdasarkan
penggalan-penggalan kisah nyata dan fakta-fakta sejarah.
Novel
tentang Hoegeng ini sebuah kisah sejarah tentang seorang pemimpin
tertinggi Polri yang dikenal dan dikenang karena kesederhanaan,
integritas, dan kejujurannya. Tidak hanya itu. Novel juga mengungkap dua
peristiwa besar yang melingkupi perjalanan karir Hoegeng Iman Santoso,
sang Jenderal Polisi, sehingga dipensiunkan dini. Dia terpaksa melepas
jabatannya sebagai Kapolri.
Penculikan
dan pemerkosaan Sumarijem atau Sum Kuning yang diduga melibatkan anak
penggede serta penyelundupan mobil mewah oleh Robby Cahyadi terjadi di
awal Orde Baru. Itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Ini berarti dua tahun
setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 27
Maret 1968. Dua peristiwa inilah yang menjadi latar cerita novel.
Kisah
bermula pada tokoh bernama Sumaryah, gadis 16 tahun penjual telur dari
Desa Djetak, Godean, Sleman, Yogyakarta. Semua seharusnya baikbaik saja
bagi Sumaryah. Namun, pada suatu sore menjelang senja, sehabis berjualan
telur dan mendapat hasil tagihan dari pelanggannya, Sumaryah mengalami
peristiwa yang jika bisa ingin dilupakannya seumur hidup. Di jalanan
desanya yang sepi, Sumaryah dinaikkan ke dalam mobil oleh empat pemuda,
lalu diperkosa (hal 6).
Penculikan
dan pemerkosaan gadis desa yang kemudian menggegerkan Yogyakarta ini
sempat menjadi isu nasional ketika itu. Bahkan sempat membuat Presiden
Soeharto turun tangan (hal 216). Korban pemerkosaan, Sumaryah (Sum),
malah ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sum dianggap berbohong.
Laporannya dianggap sebagai palsu.
Meski terpisah ratusan kilometer, kasus itu tetap menggetarkan kesatuan
polisi pusat di Jakarta, dan membuat gerah Hoegeng, sang Kapolri.
Setelah menggali amat dalam, ganjalan besar terus saja menghalangi usaha
menemukan pelaku. Berbagai gangguan mengalihkan penyidikan dari bukti
dan fakta.
Inilah
yang mengganggu Hoegeng sebagai Kapolri. Belum usai berjibaku dengan
para pelaku penculikan dan pemerkosaan, terjadi penyelundupan mobil
mewah besar di Jakarta. Keterlibatan putra seorang pejabat tinggi di
tanah air membuat kasus ini sulit disentuh dasar masalah. Para pelaku
telah mengantisipasi langkah Hoegeng dan anak buahnya, semakin dalam
penyelidikan, semakin bukti-bukti menghilang.
Kasus-kasus
itu membebani nurani Hoegeng dan menguji integritasnya sebagai polisi.
Dua kasus ini cukup menyita energinya dan tidak terbuka, sampai dia
dicopot dari Kapolri (hal 361-2). Tentu saja otensitas data dan fakta
tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis. Ada nama-nama yang
dibiarkan apa adanya seperti Soeharto dan Adam Malik. Ini menegaskan
nuansa sejarah novel.
Novel ini menarik karena rangkaian peristiwa ditulis mengalir lancar,
meskipun ada beberapa penggambaran moment sejarah yang terlalu detail.
Hal seperti ini tidak perlu dimasukkan seluruhnya ke dalam cerita.
Namun
itu tidak mengurangi mutu novel dan tujuan karya. Novel ini bisa
menjadi pengingat sosok Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, sebagai
pemimpin dan pejabat negara yang sederhana, jujur, dan lurus.
Prinsipprinsipnya rasanya memang sulit ditemukan pada tahun-tahun
belakangan. Diresensi Denny YF Nasution, staf ahli anggota DPR
Jumat, 31 Juli 2015
Quotes Hoegeng yang Saya Temukan di Warung BS (Bintangnya Sambal) Mojosongo
Saat makan dengan kawan saya, Lila, tanpa sengaja menemukan quotes ini di antara puluhan quotes2 dari tokoh-tokoh ternama dari seluruh dunia. Saya baru sadar di depan warung ini, selain mempromosikan aneka sambal yang dijual, warung ini juga mencantumkan promo: berisi quotes2 inspirasi dan motivasi :)
Review Halaman Terakhir oleh Tanzil Hernadi di Blog Buku yang Kubaca
[No 357]
Judul : Halaman Terakhir - Sebuah Novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Februari 2015
Tebal : 436 hlm
Halaman terakhir adalah novelisasi penggalan dari kehidupan Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, sosok polisi teladan yang jujur, berintegritas, dan sederhana yang mungkin hingga kini tidak ada yang sepertinya. Di novel ini penulis hanya membatasi kisahnya dari dua kasus terakhir yang ditangani oleh Hoegeng sebelum ia dipurna baktikan sebelum masa tugasnya berakhir oleh pemerintah Orde Baru saat itu.
Novel ini dimulai dengan sebuah prolog yang mengisahkan bagaimana pergulatan batin Hoegeng saat membaca surat dinas dari Menhankam yg salah satu kalimatnya berbunyi seperi ini
"...dengan ini kami menunjuk Jenderal Hoegeng Iman Santoso sebagai Duta Besar Kerajaan Belgia..."
Kalimat itu menandaskan bahwa tugasnya sebagi Kapolri telah selesai walaupun sebenarnya masa tugasnya belum habis. Sebagai seorang prajurit Hoegeng menerima keputusan tersebut namun yang disesalkannya adalah mengapa ia harus berhenti saat ia sedang menyelesaikan dua kasus besar yang selama ini menyita energi dan waktunya. Dua kasus yang telah dijanjikannya akan terselesaikan selama masa kepemimpinannya.
Kemudian setting kisah beralih secara beruntun ke dua kasus terakhir Hoegeng yaitu pemerkosaan Sumaryah, gadis desa penjual telur di Jogyakarta yang kelak akan menghebohkan masyarakat Indonesia karena ada dugaan keterlibatan anak pejabat, dan kasus penyeludupan mobil mewah oleh Soni Cahaya yang memiliki kedekatan dengan Keluarga Cendana dan diduga melibatkan para pejabat terkait dalam usaha ilegalnya ini.
Dalam kisah Sumaryah penulis menarasikan tragedi gadis penjual telur itu dengan dramatis mulai dari perkosaan yang dilakukan empat orang pemuda dalam mobil combi terhadap Sumaryah hingga proses persidangan yang berlarut-larut, berbelit, dan melelahkan.Tekanan batin yang dialami Sumaryah terungkap dengan jelas di novel ini, apalagi ketika pada akhirnya dia sempat menjadi tersangka atau bagaimana kasusnya ini menjadi kasus besar dan rumit karena diduga ada anak pejabat yang terlibat dan hadirnya tersangka dan saksi-saksi baru yang janggal. Hal inilah yang menyebabkan Jenderal Hoegeng menaruh perhatian khusus terhadap kasus ini dengan membentuk tim khusus sebelum akhirnya kasus ini tiba-tiba diambil alih oleh Terpepu (Tim Pemeriksa Pusat) yang biasanya mengurusi kasus-kasus berdimensi politik.
Pada kasus penyeludupan mobil mewah pembaca akan diajak melihat bagaimana Soni Cahaya mendatangkan mobil-mobil mewah dengan cara yang cerdik yang tentu saja melibatkan instansi-instansi terkait. Di bagian ini pembaca juga disuguhkan keseruan proses penangkapan Soni Cahaya sang gembong penyeludup mobil mewah.
Setelah menarasikan dua kasus terakhir Hoegeng, di bab-bab terakhir penulis menyuguhkan bagaimana kehidupan Hoegeng setelah tidak menjadi Kapolri lagi antara lain menjadi pengisi acara talk show Radio Elshinta yang membahas isu-isu sosial hingga menjadi seorang penyanyi Hawaian yang pada akhirnya bersama groupnya yang bernama Hawaiian Senior tampil seminggu sekali di TVRI.
Di bagian ini kita akan melihat kepedulian Hoegeng sebagai seorang polisi yang berbedikasi tidak luntur walau ia telah pensiun. Dari acara radio yang diasuhnya ia kerap menerima pengaduan-pengaduan masyarakat. Apa yang ia dengar ia catat dan sampaikan ke teman-teman atau anak buahnya yang masih aktif di kepolisian lewat sebuah memo.
Di bagian akhir novel ini kita juga akan melihat bagaimana pada akhirnya Hoegeng disingkirkan pemerintah Orde Baru ketika pada akhirnya ia memilih berseberangan dengan pemerintah dan bergabung bersama Jenderal (Purn) Nasution, Bung Hatta, Ali Sadikin, dll yang tergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) dan menandatangani sebuah petisi yang kelak akan dikenal dengan sebutan Petisi 50 ditujukan pada pemerintah. (5 Mei 1980)
"Dan dari situlah, semua hal yang seharusnya tak diterimanya kemudian diterima! Presiden Soeharto, yang pada tahun-tahun itu semakin kuat, merasa kalau gerakan seperti itu seperti menentang dirinya. Maka, ia kemudian mencatat semua orang yang terlibat di dalamnya. Dengan gerakan halus dan nyaris tak terlihat, Seoharto kemudian melakukan serangan balasan." (hl, 423)
Novel ini mengungkapkan bahwa sejak Hoegeng ikut menandatangani Petisi 50 maka banyak yang berubah dari kehidupannya, antara lain ia tidak bisa datang ke pernikahan Prabowo dan Titiek Soeharto padahal ia adalah sahabat Soemitro, ayah Prabowo. Selain itu TVRI juga menghentikan siaran musik Hawaiian Seniors, yang sudah berjalan bertahun-tahun. Hoegeng menerima semua perlakuan itu dengan lapang dada, hanya satu yang paling memberatkan dan melukai hatinya yaitu pelarangan dirinya untuk hadir di upacaya Bhayangkara (HUT POLRI), setiap tanggal 1 Juli.
Selain Hoegeng novel ini juga memunculkan tokoh-tokoh lain yaitu Djaba Kresna, wartawan yang peduli akan nasib Sumaryah yang mendapat perlakuan tidak adil yang ia tuliskan dalam bentuk berita atau opini di koran tempatnya bekerja. Lalu ada pula tokoh Jati Kusuma dan Wulan Sari, dua orang polisi yang ditugasi oleh Hoegeng untuk menangani kasus Sumaryah dan Soni Cahaya. Ketiga tokoh ini membuat novel ini menjadi semakin menarik karena ketiga tokoh inilah yang membuat kisah Hoegeng dan dua kasus yang ditanganinya ini menjadi lebih hidup dan seru untuk dibaca.
Melalui novel yang dikerjakan hampir setahun dengan riset pustaka yang serius dan wawancara dengan keluarga Alm. Hoegeng penulis juga menyuguhkan latar peristiwa-peristiwa sejarah dan sosial yang terjadi di Indonesia semasa Hoegeng menjadi Kapolri sehingga kita bisa belajar sejarah melalui novel ini. Di luar dua kasus besar yang ditangani Hoegeng terungkap juga bagaimana sulitnya Hoegeng menerapkan peraturan pemakaian helm bagi pengendara motor yang mendapat banyak tantangan dari masyarakat sampai-sampai Hoegeng diisukan memiliki pabrik helm sehingga mengeluarkan kebijakan tersebut.
Secara keseluruhan novel ini berhasil mengungkap dengan baik seluk beluk dan kerumitan penanganan dari dua kasus besar yang benar-benar pernah terjadi ini dalam balutan dramatisasi fiksi yang menarik. Namun sayangnya porsi pengungkapan dua kasus ini terlalu mendominasi kisahnya sehingga porsi dan ketokohan Hoegeng sendiri tampak sedikit tenggelam padahal sub judul novel ini adalah "Sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng". Sub judul tersebut tentunya akan menggiring pembaca pada persepsi bahwa mereka akan banyak mendapat kisah kehidupan Hoegeng sebagai seorang polisi.
Walau demikian, sekalipun tidak banyak, penulis tetap menyertakan kilasan-kilasan kehidupan Hoegeng mulai dari awal kariernya di kepolisian hingga masa pensiunnya sehingga pembaca dapat melihat sosok dan keteladanan Hoegeng sebagai polisi yang berdedikasi, jujur, dan sederhana. Hal ini antara lain terungkap ketika Hoegeng ditugaskan sebagai Kadit Reskim Sumatera Utara.
Ketika itu di dalam rumah dinasnya, ditemukan barang-barang mewah kiriman seorang pengusaha yang mengaku sebagai Ketua Panitia Selamat Datang.
Tentu saja, Hoegenge menolak sambutan itu. Namun, si tukang suap ternyata bukan orang yang mudah menyerah. Ia tak menghiraukan penolakan Hoegeng yang meminta barang-barang itu diambil kembali. Sehingga, sampai batas waktu yang ditetapkan, Hoegeng akhirnya memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan barang-barang itu dari rumah dinasnya. (hlm 129-130)
Sikap Hoegeng untuk menolak pemberian itu adalah tindakan nyata dari apa yang pernah dipesankan Hoegeng pada anak buahnya sbb :
Selain hal di atas masih ada beberapa kisah lain yang mengungkap kejujuran dan dedikasi Hoegeng pada tugas yang diembannya sehingga novel ini patut dibaca oleh siapapun di tengah langkanya figur seorang pemimpin teladan di tengah-tengah kita. Dipaparkannya dua kasus besar yang sarat konflik kepentingan di masa Hoegeng bertugas di tahun 70an ini menyadarkan kita bahwa keadilan yang hampir tidak pernah dirasakan rakyat kecil seperti Sumaryah dan kasus kejahatan yang yang melibatkan instasi oknum-oknum di jajaran pemerintahan tetap saja masih terjadi di jaman ini. Apakah ini menandakan bahwa dalam segi hukum dan keadilan negara kita hanya "berjalan di tempat" ?
@htanzil Diposkan oleh htanzil di 1:56 PM
http://bukuygkubaca.blogspot.com/2015/06/halaman-terakhir-sebuah-novel-tentang.html
Judul : Halaman Terakhir - Sebuah Novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Februari 2015
Tebal : 436 hlm
Halaman terakhir adalah novelisasi penggalan dari kehidupan Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, sosok polisi teladan yang jujur, berintegritas, dan sederhana yang mungkin hingga kini tidak ada yang sepertinya. Di novel ini penulis hanya membatasi kisahnya dari dua kasus terakhir yang ditangani oleh Hoegeng sebelum ia dipurna baktikan sebelum masa tugasnya berakhir oleh pemerintah Orde Baru saat itu.
Novel ini dimulai dengan sebuah prolog yang mengisahkan bagaimana pergulatan batin Hoegeng saat membaca surat dinas dari Menhankam yg salah satu kalimatnya berbunyi seperi ini
"...dengan ini kami menunjuk Jenderal Hoegeng Iman Santoso sebagai Duta Besar Kerajaan Belgia..."
Kalimat itu menandaskan bahwa tugasnya sebagi Kapolri telah selesai walaupun sebenarnya masa tugasnya belum habis. Sebagai seorang prajurit Hoegeng menerima keputusan tersebut namun yang disesalkannya adalah mengapa ia harus berhenti saat ia sedang menyelesaikan dua kasus besar yang selama ini menyita energi dan waktunya. Dua kasus yang telah dijanjikannya akan terselesaikan selama masa kepemimpinannya.
Kemudian setting kisah beralih secara beruntun ke dua kasus terakhir Hoegeng yaitu pemerkosaan Sumaryah, gadis desa penjual telur di Jogyakarta yang kelak akan menghebohkan masyarakat Indonesia karena ada dugaan keterlibatan anak pejabat, dan kasus penyeludupan mobil mewah oleh Soni Cahaya yang memiliki kedekatan dengan Keluarga Cendana dan diduga melibatkan para pejabat terkait dalam usaha ilegalnya ini.
Dalam kisah Sumaryah penulis menarasikan tragedi gadis penjual telur itu dengan dramatis mulai dari perkosaan yang dilakukan empat orang pemuda dalam mobil combi terhadap Sumaryah hingga proses persidangan yang berlarut-larut, berbelit, dan melelahkan.Tekanan batin yang dialami Sumaryah terungkap dengan jelas di novel ini, apalagi ketika pada akhirnya dia sempat menjadi tersangka atau bagaimana kasusnya ini menjadi kasus besar dan rumit karena diduga ada anak pejabat yang terlibat dan hadirnya tersangka dan saksi-saksi baru yang janggal. Hal inilah yang menyebabkan Jenderal Hoegeng menaruh perhatian khusus terhadap kasus ini dengan membentuk tim khusus sebelum akhirnya kasus ini tiba-tiba diambil alih oleh Terpepu (Tim Pemeriksa Pusat) yang biasanya mengurusi kasus-kasus berdimensi politik.
Pada kasus penyeludupan mobil mewah pembaca akan diajak melihat bagaimana Soni Cahaya mendatangkan mobil-mobil mewah dengan cara yang cerdik yang tentu saja melibatkan instansi-instansi terkait. Di bagian ini pembaca juga disuguhkan keseruan proses penangkapan Soni Cahaya sang gembong penyeludup mobil mewah.
Setelah menarasikan dua kasus terakhir Hoegeng, di bab-bab terakhir penulis menyuguhkan bagaimana kehidupan Hoegeng setelah tidak menjadi Kapolri lagi antara lain menjadi pengisi acara talk show Radio Elshinta yang membahas isu-isu sosial hingga menjadi seorang penyanyi Hawaian yang pada akhirnya bersama groupnya yang bernama Hawaiian Senior tampil seminggu sekali di TVRI.
Di bagian ini kita akan melihat kepedulian Hoegeng sebagai seorang polisi yang berbedikasi tidak luntur walau ia telah pensiun. Dari acara radio yang diasuhnya ia kerap menerima pengaduan-pengaduan masyarakat. Apa yang ia dengar ia catat dan sampaikan ke teman-teman atau anak buahnya yang masih aktif di kepolisian lewat sebuah memo.
Di bagian akhir novel ini kita juga akan melihat bagaimana pada akhirnya Hoegeng disingkirkan pemerintah Orde Baru ketika pada akhirnya ia memilih berseberangan dengan pemerintah dan bergabung bersama Jenderal (Purn) Nasution, Bung Hatta, Ali Sadikin, dll yang tergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) dan menandatangani sebuah petisi yang kelak akan dikenal dengan sebutan Petisi 50 ditujukan pada pemerintah. (5 Mei 1980)
"Dan dari situlah, semua hal yang seharusnya tak diterimanya kemudian diterima! Presiden Soeharto, yang pada tahun-tahun itu semakin kuat, merasa kalau gerakan seperti itu seperti menentang dirinya. Maka, ia kemudian mencatat semua orang yang terlibat di dalamnya. Dengan gerakan halus dan nyaris tak terlihat, Seoharto kemudian melakukan serangan balasan." (hl, 423)
Novel ini mengungkapkan bahwa sejak Hoegeng ikut menandatangani Petisi 50 maka banyak yang berubah dari kehidupannya, antara lain ia tidak bisa datang ke pernikahan Prabowo dan Titiek Soeharto padahal ia adalah sahabat Soemitro, ayah Prabowo. Selain itu TVRI juga menghentikan siaran musik Hawaiian Seniors, yang sudah berjalan bertahun-tahun. Hoegeng menerima semua perlakuan itu dengan lapang dada, hanya satu yang paling memberatkan dan melukai hatinya yaitu pelarangan dirinya untuk hadir di upacaya Bhayangkara (HUT POLRI), setiap tanggal 1 Juli.
Selain Hoegeng novel ini juga memunculkan tokoh-tokoh lain yaitu Djaba Kresna, wartawan yang peduli akan nasib Sumaryah yang mendapat perlakuan tidak adil yang ia tuliskan dalam bentuk berita atau opini di koran tempatnya bekerja. Lalu ada pula tokoh Jati Kusuma dan Wulan Sari, dua orang polisi yang ditugasi oleh Hoegeng untuk menangani kasus Sumaryah dan Soni Cahaya. Ketiga tokoh ini membuat novel ini menjadi semakin menarik karena ketiga tokoh inilah yang membuat kisah Hoegeng dan dua kasus yang ditanganinya ini menjadi lebih hidup dan seru untuk dibaca.
Melalui novel yang dikerjakan hampir setahun dengan riset pustaka yang serius dan wawancara dengan keluarga Alm. Hoegeng penulis juga menyuguhkan latar peristiwa-peristiwa sejarah dan sosial yang terjadi di Indonesia semasa Hoegeng menjadi Kapolri sehingga kita bisa belajar sejarah melalui novel ini. Di luar dua kasus besar yang ditangani Hoegeng terungkap juga bagaimana sulitnya Hoegeng menerapkan peraturan pemakaian helm bagi pengendara motor yang mendapat banyak tantangan dari masyarakat sampai-sampai Hoegeng diisukan memiliki pabrik helm sehingga mengeluarkan kebijakan tersebut.
Secara keseluruhan novel ini berhasil mengungkap dengan baik seluk beluk dan kerumitan penanganan dari dua kasus besar yang benar-benar pernah terjadi ini dalam balutan dramatisasi fiksi yang menarik. Namun sayangnya porsi pengungkapan dua kasus ini terlalu mendominasi kisahnya sehingga porsi dan ketokohan Hoegeng sendiri tampak sedikit tenggelam padahal sub judul novel ini adalah "Sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng". Sub judul tersebut tentunya akan menggiring pembaca pada persepsi bahwa mereka akan banyak mendapat kisah kehidupan Hoegeng sebagai seorang polisi.
Walau demikian, sekalipun tidak banyak, penulis tetap menyertakan kilasan-kilasan kehidupan Hoegeng mulai dari awal kariernya di kepolisian hingga masa pensiunnya sehingga pembaca dapat melihat sosok dan keteladanan Hoegeng sebagai polisi yang berdedikasi, jujur, dan sederhana. Hal ini antara lain terungkap ketika Hoegeng ditugaskan sebagai Kadit Reskim Sumatera Utara.
Ketika itu di dalam rumah dinasnya, ditemukan barang-barang mewah kiriman seorang pengusaha yang mengaku sebagai Ketua Panitia Selamat Datang.
Tentu saja, Hoegenge menolak sambutan itu. Namun, si tukang suap ternyata bukan orang yang mudah menyerah. Ia tak menghiraukan penolakan Hoegeng yang meminta barang-barang itu diambil kembali. Sehingga, sampai batas waktu yang ditetapkan, Hoegeng akhirnya memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan barang-barang itu dari rumah dinasnya. (hlm 129-130)
Sikap Hoegeng untuk menolak pemberian itu adalah tindakan nyata dari apa yang pernah dipesankan Hoegeng pada anak buahnya sbb :
Selain hal di atas masih ada beberapa kisah lain yang mengungkap kejujuran dan dedikasi Hoegeng pada tugas yang diembannya sehingga novel ini patut dibaca oleh siapapun di tengah langkanya figur seorang pemimpin teladan di tengah-tengah kita. Dipaparkannya dua kasus besar yang sarat konflik kepentingan di masa Hoegeng bertugas di tahun 70an ini menyadarkan kita bahwa keadilan yang hampir tidak pernah dirasakan rakyat kecil seperti Sumaryah dan kasus kejahatan yang yang melibatkan instasi oknum-oknum di jajaran pemerintahan tetap saja masih terjadi di jaman ini. Apakah ini menandakan bahwa dalam segi hukum dan keadilan negara kita hanya "berjalan di tempat" ?
@htanzil Diposkan oleh htanzil di 1:56 PM
http://bukuygkubaca.blogspot.com/2015/06/halaman-terakhir-sebuah-novel-tentang.html
Langganan:
Postingan (Atom)