[No 357]
Judul : Halaman Terakhir - Sebuah Novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Februari 2015
Tebal : 436 hlm
Halaman terakhir adalah novelisasi penggalan dari kehidupan Jenderal
Polisi Hoegeng Iman Santoso, sosok polisi teladan yang jujur,
berintegritas, dan sederhana yang mungkin hingga kini tidak ada yang
sepertinya. Di novel ini penulis hanya membatasi kisahnya dari dua kasus
terakhir yang ditangani oleh Hoegeng sebelum ia dipurna baktikan
sebelum masa tugasnya berakhir oleh pemerintah Orde Baru saat itu.
Novel ini dimulai dengan sebuah prolog yang mengisahkan bagaimana
pergulatan batin Hoegeng saat membaca surat dinas dari Menhankam yg
salah satu kalimatnya berbunyi seperi ini
"...dengan ini kami menunjuk Jenderal Hoegeng Iman Santoso sebagai Duta Besar Kerajaan Belgia..."
Kalimat itu menandaskan bahwa tugasnya sebagi Kapolri telah selesai
walaupun sebenarnya masa tugasnya belum habis. Sebagai seorang prajurit
Hoegeng menerima keputusan tersebut namun yang disesalkannya adalah
mengapa ia harus berhenti saat ia sedang menyelesaikan dua kasus besar
yang selama ini menyita energi dan waktunya. Dua kasus yang telah
dijanjikannya akan terselesaikan selama masa kepemimpinannya.
Kemudian setting kisah beralih secara beruntun ke dua kasus terakhir
Hoegeng yaitu pemerkosaan Sumaryah, gadis desa penjual telur di
Jogyakarta yang kelak akan menghebohkan masyarakat Indonesia karena ada
dugaan keterlibatan anak pejabat, dan kasus penyeludupan mobil mewah
oleh Soni Cahaya yang memiliki kedekatan dengan Keluarga Cendana dan
diduga melibatkan para pejabat terkait dalam usaha ilegalnya ini.
Dalam kisah Sumaryah penulis menarasikan tragedi gadis penjual telur itu
dengan dramatis mulai dari perkosaan yang dilakukan empat orang pemuda
dalam mobil combi terhadap Sumaryah hingga proses persidangan yang
berlarut-larut, berbelit, dan melelahkan.Tekanan batin yang dialami
Sumaryah terungkap dengan jelas di novel ini, apalagi ketika pada
akhirnya dia sempat menjadi tersangka atau bagaimana kasusnya ini
menjadi kasus besar dan rumit karena diduga ada anak pejabat yang
terlibat dan hadirnya tersangka dan saksi-saksi baru yang janggal. Hal
inilah yang menyebabkan Jenderal Hoegeng menaruh perhatian khusus
terhadap kasus ini dengan membentuk tim khusus sebelum akhirnya kasus
ini tiba-tiba diambil alih oleh Terpepu (Tim Pemeriksa Pusat) yang
biasanya mengurusi kasus-kasus berdimensi politik.
Pada kasus penyeludupan mobil mewah pembaca akan diajak melihat
bagaimana Soni Cahaya mendatangkan mobil-mobil mewah dengan cara yang
cerdik yang tentu saja melibatkan instansi-instansi terkait. Di bagian
ini pembaca juga disuguhkan keseruan proses penangkapan Soni Cahaya sang
gembong penyeludup mobil mewah.
Setelah menarasikan dua kasus terakhir Hoegeng, di bab-bab terakhir
penulis menyuguhkan bagaimana kehidupan Hoegeng setelah tidak menjadi
Kapolri lagi antara lain menjadi pengisi acara talk show Radio Elshinta
yang membahas isu-isu sosial hingga menjadi seorang penyanyi Hawaian
yang pada akhirnya bersama groupnya yang bernama Hawaiian Senior tampil seminggu sekali di TVRI.
Di bagian ini kita akan melihat kepedulian Hoegeng sebagai seorang
polisi yang berbedikasi tidak luntur walau ia telah pensiun. Dari acara
radio yang diasuhnya ia kerap menerima pengaduan-pengaduan masyarakat.
Apa yang ia dengar ia catat dan sampaikan ke teman-teman atau anak
buahnya yang masih aktif di kepolisian lewat sebuah memo.
Di bagian akhir novel ini kita juga akan melihat bagaimana pada akhirnya Hoegeng
disingkirkan pemerintah Orde Baru ketika pada akhirnya ia memilih
berseberangan dengan pemerintah dan bergabung bersama Jenderal (Purn)
Nasution, Bung Hatta, Ali Sadikin, dll yang tergabung dalam Lembaga
Kesadaran Berkonstitusi (LKB) dan menandatangani sebuah petisi yang
kelak akan dikenal dengan sebutan Petisi 50 ditujukan pada pemerintah.
(5 Mei 1980)
"Dan dari situlah, semua hal
yang seharusnya tak diterimanya kemudian diterima! Presiden Soeharto,
yang pada tahun-tahun itu semakin kuat, merasa kalau gerakan seperti itu
seperti menentang dirinya. Maka, ia kemudian mencatat semua orang yang
terlibat di dalamnya. Dengan gerakan halus dan nyaris tak terlihat,
Seoharto kemudian melakukan serangan balasan." (hl, 423)
Novel
ini mengungkapkan bahwa sejak Hoegeng ikut menandatangani Petisi 50
maka banyak yang berubah dari kehidupannya, antara lain ia tidak bisa
datang ke pernikahan Prabowo dan Titiek Soeharto padahal ia adalah
sahabat Soemitro, ayah Prabowo. Selain itu TVRI juga menghentikan siaran
musik Hawaiian Seniors, yang sudah berjalan bertahun-tahun.
Hoegeng menerima semua perlakuan itu dengan lapang dada, hanya satu yang
paling memberatkan dan melukai hatinya yaitu pelarangan dirinya untuk
hadir di upacaya Bhayangkara (HUT POLRI), setiap tanggal 1 Juli.
Selain Hoegeng novel ini juga memunculkan tokoh-tokoh lain yaitu Djaba
Kresna, wartawan yang peduli akan nasib Sumaryah yang mendapat perlakuan
tidak adil yang ia tuliskan dalam bentuk berita atau opini di koran
tempatnya bekerja. Lalu ada pula tokoh Jati Kusuma dan Wulan Sari, dua
orang polisi yang ditugasi oleh Hoegeng untuk menangani kasus Sumaryah
dan Soni Cahaya. Ketiga tokoh ini membuat novel ini menjadi semakin
menarik karena ketiga tokoh inilah yang membuat kisah Hoegeng dan dua
kasus yang ditanganinya ini menjadi lebih hidup dan seru untuk dibaca.
Melalui novel yang dikerjakan hampir setahun dengan riset pustaka yang
serius dan wawancara dengan keluarga Alm. Hoegeng penulis juga
menyuguhkan latar peristiwa-peristiwa sejarah dan sosial yang terjadi di
Indonesia semasa Hoegeng menjadi Kapolri sehingga kita bisa belajar
sejarah melalui novel ini. Di luar dua kasus besar yang ditangani
Hoegeng terungkap juga bagaimana sulitnya Hoegeng menerapkan peraturan
pemakaian helm bagi pengendara motor yang mendapat banyak tantangan dari
masyarakat sampai-sampai Hoegeng diisukan memiliki pabrik helm sehingga
mengeluarkan kebijakan tersebut.
Secara keseluruhan novel ini berhasil mengungkap dengan baik seluk beluk
dan kerumitan penanganan dari dua kasus besar yang benar-benar pernah
terjadi ini dalam balutan dramatisasi fiksi yang menarik. Namun
sayangnya porsi pengungkapan dua kasus ini terlalu mendominasi kisahnya
sehingga porsi dan ketokohan Hoegeng sendiri tampak sedikit tenggelam
padahal sub judul novel ini adalah "Sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng".
Sub judul tersebut tentunya akan menggiring pembaca pada persepsi
bahwa mereka akan banyak mendapat kisah kehidupan Hoegeng sebagai
seorang polisi.
Walau demikian, sekalipun tidak banyak, penulis tetap menyertakan
kilasan-kilasan kehidupan Hoegeng mulai dari awal kariernya di
kepolisian hingga masa pensiunnya sehingga pembaca dapat melihat sosok
dan keteladanan Hoegeng sebagai polisi yang berdedikasi, jujur, dan
sederhana. Hal ini antara lain terungkap ketika Hoegeng ditugaskan
sebagai Kadit Reskim Sumatera Utara.
Ketika itu di dalam rumah dinasnya, ditemukan barang-barang mewah
kiriman seorang pengusaha yang mengaku sebagai Ketua Panitia Selamat
Datang.
Tentu saja, Hoegenge menolak sambutan itu. Namun, si tukang suap
ternyata bukan orang yang mudah menyerah. Ia tak menghiraukan penolakan
Hoegeng yang meminta barang-barang itu diambil kembali. Sehingga, sampai
batas waktu yang ditetapkan, Hoegeng akhirnya memerintahkan anak
buahnya untuk mengeluarkan barang-barang itu dari rumah dinasnya. (hlm 129-130)
Sikap Hoegeng untuk menolak pemberian itu adalah tindakan nyata dari apa yang pernah dipesankan Hoegeng pada anak buahnya sbb :
Selain hal di atas masih ada beberapa kisah lain yang mengungkap
kejujuran dan dedikasi Hoegeng pada tugas yang diembannya sehingga novel
ini patut dibaca oleh siapapun di tengah langkanya figur seorang
pemimpin teladan di tengah-tengah kita. Dipaparkannya dua kasus besar
yang sarat konflik kepentingan di masa Hoegeng bertugas di tahun 70an
ini menyadarkan kita bahwa keadilan yang hampir tidak pernah dirasakan
rakyat kecil seperti Sumaryah dan kasus kejahatan yang yang melibatkan
instasi oknum-oknum di jajaran pemerintahan tetap saja masih terjadi di
jaman ini. Apakah ini menandakan bahwa dalam segi hukum dan keadilan
negara kita hanya "berjalan di tempat" ?
@htanzil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar