Senin, 09 November 2015

Laporan OPMI Halaman Terakhir, Media Indonesia 7 November 2015


(klik untuk memperbesar)

Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 2)


Mas Bamby juga merasa bagian menuju ending novel Halaman Terakhir terlalu datar. Hal ini juga dirasakan oleh Mbak Silvia. Saya tentu bisa memahami keadaan itu. Saat merancang ending Halaman Terakhir saya juga merasakan hal yang sama, walau saya berusaha menutupinya. Walau bagaimana pun novel ini tetap harus saya posisikan sebagai novel biografi, di mana tokoh utama –Hoegeng- harus diceritakan sejak awal kelahirannya hingga di saat terakhirnya. Tentu ini tidak mudah. Puncak permasalah Hoegeng ada di tahun 1970 –saat 2 kasus yang saya tulis berlangsung. Ada jeda yang cukup lama sejak saat itu hingga kematiannya, sehingga perasaan pembaca setelah pemecatan Hoegeng hingga seterusnya memang cenderung menurun.

 
 




 
Mbak Silvia juga menyoroti kalau ia merasa karakter Djaba Kresna menjadi karakter paling kuat dalam Halaman Terakhir, mengalahkan karakter Hoegeng. Pendapatnya tentu tak salah. Karena saya memang mengeksplorasi karakter itu sungguh-sungguh. Namun sebenarnya saya sudah mempresentasikan masing-masing karakter dalam Halaman Terakhir. Ada 3 karakter paling kuat di situ: Hoegeng, Djaba Kresna, dan Sumaryah, dan karakter Hoegeng tetaplah menjadi karakter paling dominan di Halaman Terakhir berdasarkan prosentase.

Peserta lainnya, Mbak Vina, mempertanyakan keheranannya kenapa sebagai Kaapolri Hoegeng tak bisa mengurus dengan cepat kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Ia terkesan kalah dengan Kadapol (sekarang Kapolda) Yogyakarta saat itu. Tentu jangankan Mbak Vina, saya sendiri saat meruntut kasus itu dari Koran Mertju Suar dan Minggu Pagi, cukup gemas dengan keadaan saat itu. Namun perlu dipahami kalau kasus itu melibatkan banyak orang-orang penting. Di masa itu gesekan antara polisi dan TNI begitu kuatnya, sehingga Hoegeng tidaklah mudah menuntaskannya   
Catatan paling banyak diberikan oleh Pak Soedharto. Beliau telah membuat catatan berlembar-lembar dengan tulisan tangannya. Beberapa catatannya yang harus saya akui merupakan tambahan data yang  penting adalah: sebutan bagi Presiden Soekarno. Di Halaman Terakhir saya hanya menyebutnya dengan 3 gelar, namun seharusnya saya menyebutkannya dengan 5 gelar.

Kemudian perihal kedatangan Hoegeng di Cendana, di mana ia melihat mobil Soni Cahaya terparkir di sana, Pak Soedharto menegaskan pada saya bahwa Hoegeng memang melihat Robby Cahyadi di situ. Sebenarnya dalam wawancara saya dengan Mas Aditya –putra Pak Hoegeng- saya juga mendapat cerita itu. Namun setelah saya tinjau berbagai data, saya tak menemukan data valid tentang itu. Sehingga saya kemudian hanya melukiskan kisah Hoegeng melihat mobil si pelaku. Saya pikir, ini semacam pancingan imajinasi bagi pembaca apa yang sebenarnya terjadi di sana.


 

 


Catatan lain dari Pak Soedharto yang membuat saya sedikit berdebat adalah tentang rumah dinas Hoegeng. Pak Soedharto mengutarakan Hoegeng tak tinggal di rumah dinas, ia mengontrak rumah. Namun saya mendapat data dari buku Ramadhan KH, kalau Hoegeng tinggal di rumah dinas sekian lama. Itu adalah rumah dinas yang harus ditinggalkannya setelah dicopot sebagai kalpolri.

Sebenarnya ada beberapa pertanyaan, tanggapan dan kritik lainnya dari pembaca seperti dari Mas Aan, Mas Vicky, Mbak Hera, Mbak Vina, Nikotopia, dll. Namun ingatan saya terlalu buruk untuk mengingatnya dengan detil. Maafkan saya… :(

foto2 dijepret oleh nikotopia

Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 1)

Sekitar 5 tahun yang lalu, kumcer saya, Mata Air Air Mata Kumari, di-OPMI-kan oleh Media Indonesia. Ini adalah inisiatif teman-teman goodreads saat itu, Mbak Truly Rudiono, Mbak Melodie Violane, dll. Waktu itu saya tak bisa hadir di acara itu, sehingga hanya bisa membaca review-nya di koran Media Indonesia. Senang sekali rasanya buku saya dibahas dalam 1 halaman penuh.
Tahun ini, di bulan Oktober, buku saya Halaman Terakhir, Sebuah Novel Tentang Jenderal Polisi Hoegeng   kembali di-OPMI-kan. Saya langsung meyakinkan diri untuk datang di acara itu, sewaktu Penerbit Noura menghubungi saya.

Saya berangkat di Jumat malam dan tiba di Gambir menjelang Shubuh. Mas Mun –sopir Penerbit Noura- menjemput saya dalam keadaan masih mengantuk. Saya sedikit merasa gak enak. Tapi di perjalanan, kami banyak mengobrol. Saya jadi tahu, ternyata kawan-kawan Noura yang dulu memroses buku saya, sebagian sudah tak lagi ada di Noura.
Sampai di Noura saya berencana tidur. Saat di kereta, saya memang tak bisa tidur karena lamu kereta yang terlalu silau. Namun hanya 2 jam saya tidur, karena walau hari itu hari libur, ternyata ada tukang yang sedang membetulkan kamar mandi Noura. 

Menjeang jam 10.00, Mbak Truly Rudiono datang. Kami membeli beberapa buku di toko buku Noura, yang merupakan titipan kawan-kawan saya di Solo.

Setelah Mbak Ani dan Mbak Seruni –tim promo Noura- datang, kami berangkat pukul 12.00 dengan asumsi harus mencadi tempatnya lebih dahulu di PX Pavillion, Kebayoran. Tenyata kami datang terlalu gasik, sehingga harus berjalan-jalan dulu dan menunggu di CafĂ© Crematology, tempat diskusi akan berlangsung.

 
 

   

 
Menjelang pukul 15.00, kawan-kawan dari Media Indonesia mulai berdatangan. Mbak Hera, Mas Wahyu, Mas Yoyok, dll. Beberapa tamu juga datang. Nikotopia, kawan semenjak di Solo, sudah datang paling awal, disusul Andhika. Keduanya penulis skenario yang sedang menggarap Kelas Internasional di NET TV. Raafi -yang baru beberapa hari lalu bertemu dengan saya di Solo- juga datang.

Satu mengejutkan adalah kehadiran mas Bamby Cahyadi cerpenis, penulis 3 kumcer –yang terbaru Gadis Lolipop. Sebelumnya, kami memang hanya mengenalnya di fb, sehingga cukup kaget juga ia berkenan datang. Apalagi ia sama sekali tak berkabar akan datang, sehingga ketika masuk di pintu cafĂ©, saya setengan memandang tak percaya. 

Yang paling mengejutkan adalah kehadiran Bapak Soedharto, penulis buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Beliau adalah mantan sekretaris Bapak Hoegeng. Jujur saja, ini sebenarnya sedikit membuat saya keder... :-P

Diskusi
Selama diskusi, Mas Wahyu menjadi moderatornya. Setiap peserta berhak mengutarakan pendapat, kritik atau apa un itu. Tentu karena semua peserta sudah mendapat buku, yang dikirim sekitar 10 hari sebelumnya, hampir semuanya ingin memberi tanggapan. Beberapa yang saya ingat adalah:




Mas Bamby mengawali pertanyaan dengan karakter-karakter dalam Halaman Terakhir. Ia menanyakan karakter fiksi dan karakter yang sebenarnya, dan kenapa ada karakter yang seperti hilang begitu saja di kelanjutan novel? Tentu karena ini sebuah novel, dapat dikatakan imajinasi berperan sekali. Walau begitu beberapa karakter memang merupakan karakter sebenarnya yang saya olah sedemikian rupa. Karakter Djaba Kresna sangat dekat dengan karakter Djabaruddin, yang merupakan penulis berita pertama tentang kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Karena tak ingin mengorek luka lama, beberapa karakter memang harus diganti namanya. Namun saya tetap mempertahankan inisialnya. (bersambung)

foto2 dijepret oleh nikotopia 

Selasa, 03 November 2015

4 Foto Nokotopia sebelum acara #OPMI dimulai. Keren uey... :)





Sebelum Acara OPMI dimulai, Crematology, PX Pavillion



yang motret mbak Ani Noura

#‎halamanterakhir‬ di National Library of Australia


Review: Halaman Terakhir by Yudhi Herwibowo - Tiwi's Blog (http://tiw-uwi.blogspot.co.id)


Finally! I just finished reading a book titled "Halaman Terakhir" by Yudhi Herwibowo. The story is about Hoegeng's, Chief of Indonesian National Police, last days of service.


Hoegeng was born in Pekalongan, Central Java. His full name was Hoegeng Iman Santoso. But, he was always known by Hoegeng. After finished Senior High School, he decided to study Law in Jakarta, but then he moved to Yogyakarta for Police Course. That was when he started his police career. Yes, being a policeman was always his dream since teenager.

The book tells about two big cases on Hoegeng's last days of service. Two cases that he couldn't finished until his dismissal. The first case came from Sumaryah, a 16 year old egg seller girl in Yogyakarta, who was raped by four men in a red Volkswagen Kombi car. The case was blown up by a news written by a journalist named Djaba Kresna. Sumaryah said that when she was walking home alone at dusk, a red Kombi stopped by in front of her and one of the passengers pulled her into the car. She remembered there were four men in the car, one looked like an Arabian, one like a Chinese, one had long hair, and the other one she could not see clearly. She was sedated an raped in that car. At about midnight she was pushed from car on a country road. 

According to the news and investigation written and done alone by Djaba Kresna, the red Kombi belonged to a dentist whose car was borrowed by his son-in-law on the accident day. His son-in-law known to have face like an Arabian and was the son of an army general. He also known to have three close friends and it was possible on that day they were together. 

The case twisted as the investigation continued. The results reported to Hoegeng by Yogyakarta Police Department way different. So, he asked his subordinates to go to Yogyakarta and do their own investigation. They came back to Jakarta with a good report about the investigation. But, sadly, suddenly the case was diverted by the president to be finished by other institution.

The second one was about luxurious car smuggling done by Soni Cahaya and his two brothers. After doing some investigation, Hoegeng's subordinates successully caught them and brought them to the prisoner. But, not so long after that, they were freed with warranty from unknown person. 

There were rumours about the smugglers' closeness to president's family. Journalists kept asking Hoegeng about this, but he always answered that the investigation should be done first before came out with the conclusion. One day, when Hoegeng and his subordinates came to president's residence, he saw a luxurious black car that was belong to Soni Cahaya. He felt that it confirmed about the rumour. He changed his mind and went back home with a broken heart.

Not so long after that, a letter from president came. He was no longer the Chief of Indonesian National Police, he was then an Ambassador for Belgium Kingdom. He refused to be an ambassador and chose to retire instead.

...

I heard about Hoegeng some time ago. My dad said he was the best policeman in Indonesia. He was not like any other policeman. He was honest, firm, and modest. And it was all captured well in this book. 

The book gave the image of Orde Baru regime which was known for its dictatorship. Bans, pemberedelan, was some kind of popular term in that era. It's what happened when you criticize government through the media. Collusion was also another Orde Baru's sin that was captured in this book.

Nowadays, rarely we found public officials as modest as Hoegeng. He lived simply with his own idealism. He was not wavered by the threat of losing his position, it was never important to him. I also believe, that was not because of himself alone, his wife and family who always supported him, made him that kind of person. Remember the words: behind every great man is a great woman. Luckily, he got a wife who was not only modest, but also unpretentious and trust on his man. That was a lot of support.
...

Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya - Hoegeng


http://tiw-uwi.blogspot.co.id/2015/04/review-halaman-terakhir-by-yudhi.html