Senin, 09 November 2015

Laporan OPMI Halaman Terakhir, Media Indonesia 7 November 2015


(klik untuk memperbesar)

Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 2)


Mas Bamby juga merasa bagian menuju ending novel Halaman Terakhir terlalu datar. Hal ini juga dirasakan oleh Mbak Silvia. Saya tentu bisa memahami keadaan itu. Saat merancang ending Halaman Terakhir saya juga merasakan hal yang sama, walau saya berusaha menutupinya. Walau bagaimana pun novel ini tetap harus saya posisikan sebagai novel biografi, di mana tokoh utama –Hoegeng- harus diceritakan sejak awal kelahirannya hingga di saat terakhirnya. Tentu ini tidak mudah. Puncak permasalah Hoegeng ada di tahun 1970 –saat 2 kasus yang saya tulis berlangsung. Ada jeda yang cukup lama sejak saat itu hingga kematiannya, sehingga perasaan pembaca setelah pemecatan Hoegeng hingga seterusnya memang cenderung menurun.

 
 




 
Mbak Silvia juga menyoroti kalau ia merasa karakter Djaba Kresna menjadi karakter paling kuat dalam Halaman Terakhir, mengalahkan karakter Hoegeng. Pendapatnya tentu tak salah. Karena saya memang mengeksplorasi karakter itu sungguh-sungguh. Namun sebenarnya saya sudah mempresentasikan masing-masing karakter dalam Halaman Terakhir. Ada 3 karakter paling kuat di situ: Hoegeng, Djaba Kresna, dan Sumaryah, dan karakter Hoegeng tetaplah menjadi karakter paling dominan di Halaman Terakhir berdasarkan prosentase.

Peserta lainnya, Mbak Vina, mempertanyakan keheranannya kenapa sebagai Kaapolri Hoegeng tak bisa mengurus dengan cepat kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Ia terkesan kalah dengan Kadapol (sekarang Kapolda) Yogyakarta saat itu. Tentu jangankan Mbak Vina, saya sendiri saat meruntut kasus itu dari Koran Mertju Suar dan Minggu Pagi, cukup gemas dengan keadaan saat itu. Namun perlu dipahami kalau kasus itu melibatkan banyak orang-orang penting. Di masa itu gesekan antara polisi dan TNI begitu kuatnya, sehingga Hoegeng tidaklah mudah menuntaskannya   
Catatan paling banyak diberikan oleh Pak Soedharto. Beliau telah membuat catatan berlembar-lembar dengan tulisan tangannya. Beberapa catatannya yang harus saya akui merupakan tambahan data yang  penting adalah: sebutan bagi Presiden Soekarno. Di Halaman Terakhir saya hanya menyebutnya dengan 3 gelar, namun seharusnya saya menyebutkannya dengan 5 gelar.

Kemudian perihal kedatangan Hoegeng di Cendana, di mana ia melihat mobil Soni Cahaya terparkir di sana, Pak Soedharto menegaskan pada saya bahwa Hoegeng memang melihat Robby Cahyadi di situ. Sebenarnya dalam wawancara saya dengan Mas Aditya –putra Pak Hoegeng- saya juga mendapat cerita itu. Namun setelah saya tinjau berbagai data, saya tak menemukan data valid tentang itu. Sehingga saya kemudian hanya melukiskan kisah Hoegeng melihat mobil si pelaku. Saya pikir, ini semacam pancingan imajinasi bagi pembaca apa yang sebenarnya terjadi di sana.


 

 


Catatan lain dari Pak Soedharto yang membuat saya sedikit berdebat adalah tentang rumah dinas Hoegeng. Pak Soedharto mengutarakan Hoegeng tak tinggal di rumah dinas, ia mengontrak rumah. Namun saya mendapat data dari buku Ramadhan KH, kalau Hoegeng tinggal di rumah dinas sekian lama. Itu adalah rumah dinas yang harus ditinggalkannya setelah dicopot sebagai kalpolri.

Sebenarnya ada beberapa pertanyaan, tanggapan dan kritik lainnya dari pembaca seperti dari Mas Aan, Mas Vicky, Mbak Hera, Mbak Vina, Nikotopia, dll. Namun ingatan saya terlalu buruk untuk mengingatnya dengan detil. Maafkan saya… :(

foto2 dijepret oleh nikotopia

Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 1)

Sekitar 5 tahun yang lalu, kumcer saya, Mata Air Air Mata Kumari, di-OPMI-kan oleh Media Indonesia. Ini adalah inisiatif teman-teman goodreads saat itu, Mbak Truly Rudiono, Mbak Melodie Violane, dll. Waktu itu saya tak bisa hadir di acara itu, sehingga hanya bisa membaca review-nya di koran Media Indonesia. Senang sekali rasanya buku saya dibahas dalam 1 halaman penuh.
Tahun ini, di bulan Oktober, buku saya Halaman Terakhir, Sebuah Novel Tentang Jenderal Polisi Hoegeng   kembali di-OPMI-kan. Saya langsung meyakinkan diri untuk datang di acara itu, sewaktu Penerbit Noura menghubungi saya.

Saya berangkat di Jumat malam dan tiba di Gambir menjelang Shubuh. Mas Mun –sopir Penerbit Noura- menjemput saya dalam keadaan masih mengantuk. Saya sedikit merasa gak enak. Tapi di perjalanan, kami banyak mengobrol. Saya jadi tahu, ternyata kawan-kawan Noura yang dulu memroses buku saya, sebagian sudah tak lagi ada di Noura.
Sampai di Noura saya berencana tidur. Saat di kereta, saya memang tak bisa tidur karena lamu kereta yang terlalu silau. Namun hanya 2 jam saya tidur, karena walau hari itu hari libur, ternyata ada tukang yang sedang membetulkan kamar mandi Noura. 

Menjeang jam 10.00, Mbak Truly Rudiono datang. Kami membeli beberapa buku di toko buku Noura, yang merupakan titipan kawan-kawan saya di Solo.

Setelah Mbak Ani dan Mbak Seruni –tim promo Noura- datang, kami berangkat pukul 12.00 dengan asumsi harus mencadi tempatnya lebih dahulu di PX Pavillion, Kebayoran. Tenyata kami datang terlalu gasik, sehingga harus berjalan-jalan dulu dan menunggu di Café Crematology, tempat diskusi akan berlangsung.

 
 

   

 
Menjelang pukul 15.00, kawan-kawan dari Media Indonesia mulai berdatangan. Mbak Hera, Mas Wahyu, Mas Yoyok, dll. Beberapa tamu juga datang. Nikotopia, kawan semenjak di Solo, sudah datang paling awal, disusul Andhika. Keduanya penulis skenario yang sedang menggarap Kelas Internasional di NET TV. Raafi -yang baru beberapa hari lalu bertemu dengan saya di Solo- juga datang.

Satu mengejutkan adalah kehadiran mas Bamby Cahyadi cerpenis, penulis 3 kumcer –yang terbaru Gadis Lolipop. Sebelumnya, kami memang hanya mengenalnya di fb, sehingga cukup kaget juga ia berkenan datang. Apalagi ia sama sekali tak berkabar akan datang, sehingga ketika masuk di pintu café, saya setengan memandang tak percaya. 

Yang paling mengejutkan adalah kehadiran Bapak Soedharto, penulis buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Beliau adalah mantan sekretaris Bapak Hoegeng. Jujur saja, ini sebenarnya sedikit membuat saya keder... :-P

Diskusi
Selama diskusi, Mas Wahyu menjadi moderatornya. Setiap peserta berhak mengutarakan pendapat, kritik atau apa un itu. Tentu karena semua peserta sudah mendapat buku, yang dikirim sekitar 10 hari sebelumnya, hampir semuanya ingin memberi tanggapan. Beberapa yang saya ingat adalah:




Mas Bamby mengawali pertanyaan dengan karakter-karakter dalam Halaman Terakhir. Ia menanyakan karakter fiksi dan karakter yang sebenarnya, dan kenapa ada karakter yang seperti hilang begitu saja di kelanjutan novel? Tentu karena ini sebuah novel, dapat dikatakan imajinasi berperan sekali. Walau begitu beberapa karakter memang merupakan karakter sebenarnya yang saya olah sedemikian rupa. Karakter Djaba Kresna sangat dekat dengan karakter Djabaruddin, yang merupakan penulis berita pertama tentang kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Karena tak ingin mengorek luka lama, beberapa karakter memang harus diganti namanya. Namun saya tetap mempertahankan inisialnya. (bersambung)

foto2 dijepret oleh nikotopia 

Selasa, 03 November 2015

4 Foto Nokotopia sebelum acara #OPMI dimulai. Keren uey... :)





Sebelum Acara OPMI dimulai, Crematology, PX Pavillion



yang motret mbak Ani Noura

#‎halamanterakhir‬ di National Library of Australia


Review: Halaman Terakhir by Yudhi Herwibowo - Tiwi's Blog (http://tiw-uwi.blogspot.co.id)


Finally! I just finished reading a book titled "Halaman Terakhir" by Yudhi Herwibowo. The story is about Hoegeng's, Chief of Indonesian National Police, last days of service.


Hoegeng was born in Pekalongan, Central Java. His full name was Hoegeng Iman Santoso. But, he was always known by Hoegeng. After finished Senior High School, he decided to study Law in Jakarta, but then he moved to Yogyakarta for Police Course. That was when he started his police career. Yes, being a policeman was always his dream since teenager.

The book tells about two big cases on Hoegeng's last days of service. Two cases that he couldn't finished until his dismissal. The first case came from Sumaryah, a 16 year old egg seller girl in Yogyakarta, who was raped by four men in a red Volkswagen Kombi car. The case was blown up by a news written by a journalist named Djaba Kresna. Sumaryah said that when she was walking home alone at dusk, a red Kombi stopped by in front of her and one of the passengers pulled her into the car. She remembered there were four men in the car, one looked like an Arabian, one like a Chinese, one had long hair, and the other one she could not see clearly. She was sedated an raped in that car. At about midnight she was pushed from car on a country road. 

According to the news and investigation written and done alone by Djaba Kresna, the red Kombi belonged to a dentist whose car was borrowed by his son-in-law on the accident day. His son-in-law known to have face like an Arabian and was the son of an army general. He also known to have three close friends and it was possible on that day they were together. 

The case twisted as the investigation continued. The results reported to Hoegeng by Yogyakarta Police Department way different. So, he asked his subordinates to go to Yogyakarta and do their own investigation. They came back to Jakarta with a good report about the investigation. But, sadly, suddenly the case was diverted by the president to be finished by other institution.

The second one was about luxurious car smuggling done by Soni Cahaya and his two brothers. After doing some investigation, Hoegeng's subordinates successully caught them and brought them to the prisoner. But, not so long after that, they were freed with warranty from unknown person. 

There were rumours about the smugglers' closeness to president's family. Journalists kept asking Hoegeng about this, but he always answered that the investigation should be done first before came out with the conclusion. One day, when Hoegeng and his subordinates came to president's residence, he saw a luxurious black car that was belong to Soni Cahaya. He felt that it confirmed about the rumour. He changed his mind and went back home with a broken heart.

Not so long after that, a letter from president came. He was no longer the Chief of Indonesian National Police, he was then an Ambassador for Belgium Kingdom. He refused to be an ambassador and chose to retire instead.

...

I heard about Hoegeng some time ago. My dad said he was the best policeman in Indonesia. He was not like any other policeman. He was honest, firm, and modest. And it was all captured well in this book. 

The book gave the image of Orde Baru regime which was known for its dictatorship. Bans, pemberedelan, was some kind of popular term in that era. It's what happened when you criticize government through the media. Collusion was also another Orde Baru's sin that was captured in this book.

Nowadays, rarely we found public officials as modest as Hoegeng. He lived simply with his own idealism. He was not wavered by the threat of losing his position, it was never important to him. I also believe, that was not because of himself alone, his wife and family who always supported him, made him that kind of person. Remember the words: behind every great man is a great woman. Luckily, he got a wife who was not only modest, but also unpretentious and trust on his man. That was a lot of support.
...

Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya - Hoegeng


http://tiw-uwi.blogspot.co.id/2015/04/review-halaman-terakhir-by-yudhi.html

Halaman Terakhir: Kisah Pahit Jenderal Polisi Hoegeng, Review di Blog Syalala- (http://hereyougo-al.blogspot.co.id)

 

Judul: Halaman Terakhir
Pengarang: Yudhi Herwibowo
Tahun terbit: 2015
Penerbit: Noura Book
Jumlah halaman: 434
“Wat kan men I het leven al niet bereiken, als men eer lijik is. Men kan bemind geerd en gaacht worden…
Apa yang tak bisa dicapai seseorang dalam kehidupan jika ia jujur? Orang bisa dicintai, dimuliakan, dan dihormati. (Rosihan Anwar)”
            Kutipan diatas pretty much explains about this novel. Novel historical-fiction ini mengisahkan seorang jenderal polisi, yang hidup pada tahun 1970-an, yang bernama Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Beliau adalah seorang jenderal polisi yang dikenal jujur, adil, dan tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Sejak diangkatnya Hoegeng menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia pada Mei 1968, Hoegeng memegang kendali beberapa kasus yang terjadi kala itu; bahkan beliau adalah orang pertama yang mengusulkan penggunaan helm bagi pengendara motor!
Narasi dibawakan dalam sudut pandang orang ketiga, di mana nama dari setiap karakter disebutkan. Cerita yang dibawakan pun berubah-ubah sudut pandangnya, sehingga pembaca mengetahui apa yang sedang terjadi lebih detail dari orang yabg berbeda-beda, seperti pelaku kejahatan, seorang wartawan, korban, bawahan Jenderal Hoegeng, dan Jenderal Hoegeng sendiri. 
            Novel Halaman Terakhir memfokuskan cerita pada dua kasus besar yang terjadi pada masa jabatan Jenderal Hoegeng, yaitu kasus pemerkosaan seorang gadis penjual telur yang bernama Sumaryah dan kasus penggelapan mobil mewah. Dalam novel ini diceritakan hal apa saja yang terjadi, kronologi kejadian, dan upaya apa yang dilakukan oleh kepolisian di bawah pimpinan Jenderal Hoegeng untuk menyelesaikan kasus. Tapi tentu saja, selalu ada permainan di belakang panggung yang tidak diketahui oleh Jenderal Hoegeng.
           
            Seperti kutipan Rosihan Anwar yang disebutkan sebelumnya, orang jujur tidak selalu mendapatkan kemuliaan dan kehormatan. Jenderal Hoegeng mendapatkan berbagai macam kendala dalam usahanya menyelesaikan dua kasus besar, bahkan ketika ia hampir menyelesaikan kasus ini. Dengan semangat dan tekadnya yang kuat, ia terus mengabdi pada negara Indonesia, bahkan ketika ia dicabut jabatannya oleh pemerintah.
            Hidup sebagai orang jujur pada kala itu tidaklah mudah. Novel ini secara tidak langsung menceritakan keadaan negara yang ada pada saat itu, sesaat sebelum pemerintah mengambil alih media dan ketika hal itu terjadi. Hidup Jenderal Hoegeng, sebagai anggota kepolisian yang bersih, juga tidak mudah. Novel ini membuat saya sadar bahwa perjuangan tokoh-tokoh nasional tidak berhenti setelah Indonesia merdeka.
Walaupun novel ini merupakan sebuah cerita fiksi, pembaca, terutama saya, merasa mendapatkan sedikit banyak pelajaran mengenai sejarang Indonesia. Sejujurnya, saya tidak begitu menyukai novel historikal, tapi saya sangat menikmati membaca novel Halaman Terakhir. Tidak selamanya belajar sejarah itu membosankan. Bahkan ada sebuah komedi yang diselipkan sebagai bentuk kritik masyarakat terhadap apa yang terjadi masa itu.  

“Pak, lapor. Saya baru saja kemalingan…”
“Apaaa? Kemalingan? Laporan palsu itu. Palsuuu!”
“Pak, lapor. Saya baru saja ditabrak…”
“Apaaa? Ditabrak? Laporan palsu itu. Palsuuu!”
“Lah, palsu gimana toh, Pak? Lah, ini kepala saya sudah putus.”


            Akhir dari novel ini bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah ditebak. Ketika membaca, saya ikut merasa tegang ketika sebuah kasus sedang dalam masa penyelidikan, atau bahkan geregetan ketika sesuatu terjadi diluar dugaan, tawa juga hadir karena ada sedikit unsur komedi yang dituliskan. Begitu banyak hal yang terjadi dalam novel ini, dalam negeri ini, begitu pula dengan kehidupan Jenderal Hoegeng. TIdak ada salahnya untuk membaca dan mengetahui sendiri apa yang terjadi pada Jenderal Hoegeng dan bagaimana kasus-kasus tersebut akhirnya ditangani. And for me, I give it 10 out of 10! 


http://hereyougo-al.blogspot.co.id/2015/03/halaman-terakhir-kisah-pahit-jenderal.html?showComment=1446616980752#c7302509947813417513

Rabu, 30 September 2015

Promo #HalamanTerakhir di Timeline FB Saya


REVIEW Halaman Terakhir oleh Luckty Giyan Sukarno di Facebook



Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan. Akan terasa sedikit gatal, lantas kita akan menggaruknya pelan-pelan dengan rasa nikmat luar biasa. Makin sering dan makin banyak diterima, gatal itu akan semakin intens, menggaruknya pun semakin keras, hingga bernanah. Karena itu, jauhi kuman dan upayakan untuk jangan sampai menempel pada bagian tubuh kita. Uang akan membuat tubuh kita selalu gatal bagai luka korengan. (hlm. 131)


Bagi Hoegoeng, menjadi polisi memang bukan perkara mudah. Tanggung jawab yang dimiliki mesti dipikul sepanjang hidup. Dan, mengendalikan diri dalam tanggung jawab itulah yang terpenting untuk  dijalani.

Hoegeng mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi ia tahu, kadang sebuah masalah tak sekedar seperti yang terlihat di permukaan; seringkali, bayang-bayang di belakangnya jauh lebih menakutkan!

Beliau tidak pandang bulu dalam bertindak. Pertama, saat anaknya, Aditya mendaftar ke AKABRI. Anaknya ini ingin bergabung di Angkatan Udara dan menjadi pilot pesawat tempur. Beliau tidak mau jika anaknya diterima hanya karena nama besar beliau. Anaknya sempat kecewa dengan keputusannya itu.

Kisah seperti itu tak hanya terjadi pada Aditya. Kepada istrinya pun, ia cukup keras memegang prinsip. Tak banyak yang mengetahui kisah ini. Kadang, ini terasa begitu penuh tekanan, jauh lebih membuatnya tertekan daripada tugas-tugasnya sebagai polisi. Namun, Hogeong selalu meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang memang harus dilakukan.

Membaca kisah Hoegoeng ini, hidupnya nggak beda jauh ama babe sendiri. Meski bukan berlatar belakang militer, tapi beliau amatlah tegas dan disiplin. Dulu kalo berangkat sekolah, telat dari jam waktunya berangkat, bakal ditinggal. Jangankan berangkat sekolah, sampai sekarang pun kalau ada acara keluarga seperti ke pernikahan saudara, kalo jam tujuh ya jam tujuh, lewat dari jam segitu bakal ditinggal, jadi semua saudara udah pada hapal kebiasaan babe ini. Mana ada yang berani ngaret kalo janjian ama babe, gyahahaha... :D

Ada dua kasus besar yang dibahas dalam buku ini. Pertama, tentang kasus pemerkosaan yang menimpa wong cilik. Kedua, tentang penyelundupan mobil mewah besar. Sebenarnya ini perkara yang bisa saja ditaklukkan Hoegoeng bersama anak-anak buahnya yang juga berdedikasi. Permasalahannya adalah dua kasus ini melibatkan orang-orang besar di negeri ini. Yang salah menjadi benar, begitu pula sebaliknya. Hoegoeng mengalami dilematis besar, harus memilih antara hati nurani atau keputusan pihak atas.

Kadang, sebuah vonis memang tak selalu bisa menyenangkan setiap orang, bukan? (hlm. 401)


Awalnya saya sempat ragu membaca ini dalam sekali duduk. Saya memang punya kebiasaan membaca buku dalam sekali waktu, kecuali kumpulan cerpen yang membacanya bisa dicicil tanpa harus selesai bersamaan dalam satu waktu. Tapi, tulisan Mas Yudhi ini mampu menyedot pikiran kita sebagai pembaca. Kita diajak seolah menyusuri tidak hanya kehidupan Hoegoeng semata, tapi juga kisah Sumaryah si gadis lugu yang penuh tekanan, Djaba Kresna dengan liputan dan tulisannya, serta anak buah Hoegoeng yaitu Jati Kusuma dan Wulan Sari.

Dua tokoh terakhir yang saya sebutkan tadi adalah tokoh favorit yang ada dalam buku ini. Sangat mustahil di zaman sekarang ini menemukan polisi seperti sosok Hoegoeng semasa hidupnya, ya minimal seperti Jati Kusuma ama Wulan Sari boleh juga ya, tapi kok sampe sekarang saya sama sekali belum menemukan sosok berdedikasi seperti mereka. Apa saya yang kurang gaul, atau kurang piknik?!? X))

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Hidup kadang memang disertai firasat. (hlm. 13)
  2. Jalanan memang merangkai ceritanya sendiri. (hlm. 27)
  3. Apa yang tak bisa dicapai seseorang dalam kehidupan jika ia jujur? Orang bisa dicintai, dimuliakan dan dihormati. (hlm. 102)
  4. Tuhan selalu membalas keteguhan seseorang terhadap nilai-nilai kebaikan. (hlm. 160)
  5. Jangan takut, semua akan baik-baik saja. (hlm. 179)
  6. Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya. (hlm. 375)
  7. Kadang, ada sebuah pertemuan yang akan diingat sepanjang hidup. (hlm. 408)
  8. Semua keputusan ada alasannya. (hlm. 419)
  9. Pada akhirnya, semua mesti kembali pada awal mula. (hlm. 424)
Banyak juga kalimat selipan sindiran halusnya:
  1. Siapa yang bisa menghindar? Bahkan, malam paling senyap pun akhirnya kalah dari sinar pagi yang paling lemah. Dan, siang paling terik sekalipun, kalah dengan rinai-rinai yang tak bertanda di tubuh. (hlm. 118)
  2. Sebenarnya mudah saja menilai seseorang itu berbohong atau tidak. (hlm. 200)
  3. Hidup di bawah bayang-bayang kematian tentu bukan hidup yang nyaman untuk dijalani. (hlm. 319)
  4. Adakalanya seseorang memang tak lagi bisa melawan, sekeras apa pun ia berusaha. (hlm. 407)
  5. Percayalah, hari pembalasan itu selalu tiba! (hlm. 414)
  6. Selalu ada sisi buruk dari berlalunya waktu. (hlm. 421)
Sekian kalinya membaca tulisan Mas Yudhi bernapas sejarah. Sebelumnya saya sudah membaca bukunya yang bertema sejarah berjudul Untung Surapati dan Pandaya Sriwijaya. Buku bertema sejarah memang cocoknya ditulis seperti ini, gampang dicerna karena dituliskan secara deskriptif dan tidak monoton seperti buk sejarah versi buku pelajaran.

Setelah buku ini, saya juga tertarik nih membaca buku bertema sejarah yang juga diterbitkan Noura Books baru-baru ini; 693km; Jejak Gerilya Sudirman. Sebagai anak jebolan IPS, satu-satunya pelajaran sosial yang saya suka adalah sejarah! ;)

Keterangan Buku:
Judul : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penyunting : Miranda Harlan
Penyelaras aksara : Nunung Wiyati & Sittah Khusnul Khotimah
Penata aksara : Abd Wahab & Alfiyan Rajendra
Desain sampul : AAA
Penerbit : Noura Books
Terbit : Februari 2015
Tebal : 436 hlm.
ISBN : 978-602-7816-65-7


https://www.facebook.com/notes/luckty-giyan-sukarno/review-halaman-terakhir/10152920556532693

Foto Adik-adik di SMA Negeri 2 Metro Lampung kiriman Mbak Luckty Giyan Sukarno :)


Resensi Halaman Terakhir dan Wawancara bersama Yudhi Herwibowo oleh Alvina di Blog Mari Ngomongin Buku

Judul Buku : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Tebal : 448 halaman, paperback
Cetakan pertama : Februari 2015
ISBN : 9786027816657

Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik
Pertama kali saya membaca Untung Surapati karya Mas Yudhi, saya hampir tak bisa berhenti membacanya. Menurut saya, Mas Yudhi cakap sekali menyusun cerita yang berdasarkan sejarah. Alurnya mengalir dengan apik dan lancar, seakan akan kita ikut ada di sana menyaksikan kisahnya. Maka ketika ia menerbitkan satu lagi bukunya yang berhubungan dengan sejarah, saya langsung memasukkannya ke dalam daftar baca.

Halaman terakhir menceritakan tentang Hoegeng, mantan Kapolri yang punya riwayat membanggakan. Ada kisah- kisah yang belum selesai saat Hoegeng lengser dari jabatan Kapolri, tetapi ada dua yang merupakan kasus besar yaitu Sum Kuning dan Cahaya. Sum kuning merupakan kasus pemerkosaan seorang gadis penjual telur di Yogyakarta, sedangkan Cahaya merupakan kasus penyelundupan mobil-mobil mahal ke Indonesia.

Sebagai Kapolri, Hoegeng mengikuti perkembangan kasus Sum meski tempat kejadian berjarak ratusan kilometer dari markas besarnya. Sum mengaku telah diperkosa di dalam mobil kombi merah oleh empat orang pemuda. Tetapi polisi setempat mencoba menutup nutupi kasus ini, bahkan mengambil kambing hitam sebagai pelakunya. Desas desus mulai bermunculan, banyak pihak yang menyebutkan bahwa polisi berpura pura menutup mata karena salah satu tersangka memiliki hubungan kekeluargaan dengan seorang Jenderal besar. Apa benar demikian?

Sementara itu, di Jakarta sedang mencuat kasus penyelundupan mobil mewah. Hal yang paling menyesakkan Hoegeng tentang kasus ini, kelak, adalah karena tersangka memiliki hubungan dengan orang yang selama ini sangat dihormati Hoegeng. Sejak itu ia tahu, ia tak akan pernah bisa menyelesaikan kasus ini, bahkan sampai ia lengser dari jabatannya.

Ternyata seperti dugaan saya, buku ini selesai saya baca hanya dalam semalam hari. Padahal biasanya mah saya selalu tersendat sendat saat membaca hal hal yang berhubungan dengan sejarah. Alurnya cepat, gerak gerik tokohnya dilukiskan dengan apik dan membuat pembacanya penasaran, seberapa besar sih masalah yang dihadapi Hoegeng ini. Melalui buku ini juga kita seakan kembali lagi ke Indonesia puluhan tahun lalu, dengan latar yang diceritakan secara sederhana tapi tetap mampu mepermudah pembaca membayangkan adegan demi adegannya.
Hoegeng (source.wiki)
Karena buku ini juga, saya jadi mencari tahu sejarah dan sepak terjang Hoegeng, karena jujur saja sebelumnya saya tak tahu Hoegeng itu siapa. Apa sih yang membuat beliau menjadi sosok istimewa? Ya, ternyata setelah membaca buku ini saya baru tahu kebaikan dan ketulusan seorang Hoegeng. Sebagai seorang petinggi, ia jeli dan tegas saat menilai atau menghadapi suatu kasus. Bahkan meski kasus tersebut berada di luar Jakarta, ia sebagai Kapolri terus mengawasi bahkan jika perlu turun tangan membantu penyelidikan. Sebagai seorang pribadi, Hoegeng memiliki sifat ramah dan perhatian bahkan terhadap anak buahnya. Ia juga sangat menyayangi istri dan keluarganya dan yang lebih utama, ia adalah seorang yang amat jujur. Contohnya saja ketika istrinya ingin pulang menengok ayahnya yang sakit di luar negeri, meski sang istri dapat sumbangan uang dari saudara saudaranya, tapi dengan berat hati Hoegeng tak mengijinkannya pergi sebab Bagaimana kalau nanti orang orang mengira uang tersebut bukanlah uang "halal"? Atau ketika Hoegeng dan sang istri memiliki toko bunga yang kemudian ditutup, karena bagaimana kalau kemudian setiap ada acara, banyak kolega yang memesan rangkaian bunga ke toko mereka? Bukankah itu akan mematikan penjualan toko bunga lainnya? Duh, saya rasa istri Hoegeng juga punya hati yang sama luasnya seperti milik beliau.

Ah sebuah cerita yang apik dan berkesan, memberi teladan bagi kita agar selalu berusaha untuk bersikap jujur.
Nah, saya juga punya sedikit ngobrol sama Mas Yudhi, sang penulis Halaman Terakhir. Orangnya baik banget, diemail aja mau njawab loh.. XD
Berikut percakapan saya dengan beliau.. plus beberapa pertanyaan titipan dari MbakDesty dan Dion.. 
Yudhi Herwibowo
1. Perihal apa yang membuat Mas Yudhi membuat novel ini? Apakah tawaran dari Mizan atau memang niatan pribadi? Ceritain dikit donk x)
Awalnya Penerbit Noura memang punya rencana menovelkan beberapa tokoh inspiratif di nusantara. Saya dihubungi untuk menulis seorang tokoh. Namun karena kurang sreg dengan tokoh yang ditawarkan, saya menolak. Sampai akhirnya tokoh Hoegeng kemudian ditawarkan. Saya kemudian menerimanya dengan sangat yakin.

Tentu untuk menulis biografi atau novel yang diangkat dari biografi seseorang, penulis harus memiliki ketertarikan dengan karakter tersebut. Dan sudah sejak lama saya memang sudah mendengar tentang reputasi Bapak Hoegeng. Saya senang bisa menulisnya.
2. Sejak kapan Mas Yudhi mengetahui sosok Hoegeng? Apakah jauh sebelum acara Kick Andy diputar?
Sebelumnya saya hanya mendengar tentang sosok Hoegeng samar-samar saja, misalnya seperti yang sering diungkapkan oleh Gus Dur (dan dipakai sebagai salah satu emdorstment di cover buku saya). Itu quotes yang sering dipetik di mana-mana. Tapi kisah Hoegng yang cukup lengkap memang baru saya tahu saat acara Kick Andy tahun 2009 itu.
3. Berapa lama waktu yang diperlukan Mas Yudhi mulai dari riset sampai naskah jadi? Terus revisinya berapa bulan sampai naik cetak?
Sebenarnya penggarapan awalnya tak lebih dari 6 bulan. Ini sudah termasuk riset di beberapa perpus di Solo dan Jogja, dan mendatangi Mas Aditya Hoegeng di Jakarta beberapa kali. Namun setelah jadi, sambil menunggu daftar terbit, saya merevisinya, mungkin sekitar 6 bulan juga.
4. Saya selalu suka sama cerita cerita Mas Yudhi yang terilhami sejarah. Seperti Untung Surapati sebelumnya, Novel Halaman Terakhir ini juga padat dengan peristiwa peristiwa. Apakah Mas yudhi memang suka pelajaran sejarah dari kecil? Apa yang membuat Mas Yudhi menyukainya?
Saya memang suka sejarah. Sebelum Untung Surapati saya menulis Pandaya Sriwijaya, bahkan sebelum itu saya menulis novel Samurai Cahaya, yang walau pun merupakan novel samurai, sedikit menyerempet soal sejarah Jepang.

Menulis Halaman Terakhir merupakan tantangan buat saya, karena bila dalam Pandaya Sriwijaya saya hanya menempatkan sejarah dalam setting, dan dalam Untung Surapati  saya menempatkan keutuhan sejarah begitu kental, di Halaman Terakhir saya mencoba berada di tengah-tengah. Data sejarah yang sebenarnya sangat banyak itu, harus saya pilih-pilih agar buku ini tidak menjadi buku yang penuh data. Saya memang sangat menghindari catatan kaki, karena menyadari bagaimana posisi novel sebenarnya. Saya tetap harus mengutamakan keasyikan membaca novel, bagaimana saat pembaca merasa sedih, atau gembira. Inilah saya rasa yang menjadi tantangan bagi penulis sejarah yang sesungguhnya.
5. Ada ngga sih, sosok penuh inspirasi lainnya yang amat ingin Mas Yudhi jadikan tokoh dalam novel karya Mas Yudhi? Kalau ada, siapa?
Sebenarnya ada beberapa tokoh yang ingin saya tulis. Beberapanya sudah saya tulis dalam cerpen. Misalnya Raden Saleh, Van Gogh, Amir Hamzah, Tan Koen Swie, dll.

Untuk novel saya ingin sekali menulis tentang Chairil Anwar, atau Tan Malaka. Tapi sepertinya sudah banyak penulis yang menulis tentang 2 tokoh itu.
6.  Selain 2 kasus terakhir di dalam buku, ada nggak kasus lain yg didapat dari hasil penyelidikan Mas Yudhi?
Sebenarnya banyak. Beberapanya sempat saya singgung sedikit dalam Halaman Terakhir, misalnya tentang penangkapan seorang jenderal polisi yang dituduh menjadi backing seorang pengusaha dan akhirnya memakai ilmu hitam pada Hoegeng. Itu kisah yang benar-benar ada. Atau kisah tentang fitnah tentang kepemilikan perusahaan topi helm. Itu juga ada. Namun memang beberapanya tak cukup besar. Dua kasus terakhir itulah yang memang cukup besar. Walau secara tegas dalam novel itu, saya tak sekali pun menyebut tentang 2 kasus itu, dengan sebutan yang dikenal oleh masyarakat selama ini. Hanya saja blurps yang dibuat penerbit di cover itulah yang mengarahkan pembaca pada 2 kasus itu.
7. Apa kesulitan paling besar yang Mas Yudhi hadapi saat membuat novel ini?
Kesulitannya mungkin saya merasa terlalu banyak mengutip buku lainnya. Ini membuat saya tak nyaman. Kadang ada beberapa bagian yang saya pikirkan lama sekali. Misalnya percakapan Hoegeng dengan beberapa tokoh ternama, misalnya Presiden Soekarno. Rasanya aneh saat saya hanya menyalin saja percakapan itu. Tapi karena itu merupakan autobiografi, saya juga tak cukup berani mengubahnya. Sehingga yang kemudian saya lakukan hanyalah berusaha membuat kalimat-kalimat berbeda, dengan makna yang hampir sama. Saya pikir ini bisa dimaklumi.

Buku autobiografi Hoegeng yang ditulis Abrar Yusa dan Ramadhan KH itu memang merupakan buku yang sangat lengkap, hampir kisah-kisah masa lalu Hoegeng saya ambil dari buku itu. Sebenarnya saya sempat melakukan crosscheck dengan bertanya beberapa pertanyaan pada Mas Aditya Hoiegeng, namun jawabannya kurang lebih sama dengan yang ada di dalam buku.
8. Ada harapan khusus ngga terhadap pembaca yang udah membaca buku ini? Misalnya apa menginspirasi, atau mengenal sosok Hoegeng lebih dekat, atau sebagainya gitu?
Saat saya pertama kali datang, Mas Aditya Hoegeng bertanya pada saya, kenapa saya memilih Hoegeng? Ia bercerita bagaimana buku sebelumnya –yang merupakan kumpulan esai tentang Hoegeng- menumpuk di gudang penerbit dan tak laku, hingga kemudian diupayakanlah agar buku itu dapat tersebar dengan mengajukannya pada acara Kick Andy.

Saya sudah tahu bagaimana posisi buku saya ini kelak, tapi pertimbangan menulis tentu bukan sekadar masalah laku dan tak laku, ada yang harus diupayakan lebih dari itu. Menulis sosok Hoegeng, seperti menjadi keharusan bagi saya, di mana kondisi kepolisian kita saat ini ada dalam posisi yang tak cukup dipercaya oleh publik. Saya merasa para calon polisi dan polisi muda seperti kehilangan pegangan tentang sosok panutan. Hadirnya sosok Hoegeng, saya rasa dapat -sedikit-banyak- mengembalikan keyakinan itu.  Dan saya berharap semuanya menjadi lebih baik.
Terima kasih Mas Yudhi, saya pribadi berharap semoga Mas Yudhi makin banyak menulis kisah-kisah yang menorehkan sejarah lainnya :) 
http://www.orybooks.com/2015/08/resensi-halaman-terakhir-dan-wawancara.html