Jumat, 31 Juli 2015

Resensi Halaman Terakhir oleh Denny YF Nasution, staf ahli anggota DPR di Koran Jakarta 30 Juli 2015

Judul : Halaman Terakhir, Sebuah Novel
tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Terbit : Februari 2015
Tebal : 436 Halaman
ISBN : 978-602-7816-65-7


“Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” ungkap mendiang mantan Kapolri Jenderal Hoegeng. Sebuah fakta sejarah bisa saja menjadi menarik dibaca (kembali) dalam narasi lain. Novel sebagai karya fiksi yang mengandung imajinasi dan ciptaan khayali pengarang, tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran sejarah.
Namun, sebuah novel bisa saja diterima sebagai salah satu dokumen sejarah, betapa pun merupakan sebuah fiksi. Sebab dia ditulis berdasarkan penggalan-penggalan kisah nyata dan fakta-fakta sejarah.
Novel tentang Hoegeng ini sebuah kisah sejarah tentang seorang pemimpin tertinggi Polri yang dikenal dan dikenang karena kesederhanaan, integritas, dan kejujurannya. Tidak hanya itu. Novel juga mengungkap dua peristiwa besar yang melingkupi perjalanan karir Hoegeng Iman Santoso, sang Jenderal Polisi, sehingga dipensiunkan dini. Dia terpaksa melepas jabatannya sebagai Kapolri.
Penculikan dan pemerkosaan Sumarijem atau Sum Kuning yang diduga melibatkan anak penggede serta penyelundupan mobil mewah oleh Robby Cahyadi terjadi di awal Orde Baru. Itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Ini berarti dua tahun setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 27 Maret 1968. Dua peristiwa inilah yang menjadi latar cerita novel.
Kisah bermula pada tokoh bernama Sumaryah, gadis 16 tahun penjual telur dari Desa Djetak, Godean, Sleman, Yogyakarta. Semua seharusnya baikbaik saja bagi Sumaryah. Namun, pada suatu sore menjelang senja, sehabis berjualan telur dan mendapat hasil tagihan dari pelanggannya, Sumaryah mengalami peristiwa yang jika bisa ingin dilupakannya seumur hidup. Di jalanan desanya yang sepi, Sumaryah dinaikkan ke dalam mobil oleh empat pemuda, lalu diperkosa (hal 6).
Penculikan dan pemerkosaan gadis desa yang kemudian menggegerkan Yogyakarta ini sempat menjadi isu nasional ketika itu. Bahkan sempat membuat Presiden Soeharto turun tangan (hal 216). Korban pemerkosaan, Sumaryah (Sum), malah ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sum dianggap berbohong. Laporannya dianggap sebagai palsu.
Meski terpisah ratusan kilometer, kasus itu tetap menggetarkan kesatuan polisi pusat di Jakarta, dan membuat gerah Hoegeng, sang Kapolri. Setelah menggali amat dalam, ganjalan besar terus saja menghalangi usaha menemukan pelaku. Berbagai gangguan mengalihkan penyidikan dari bukti dan fakta.
Inilah yang mengganggu Hoegeng sebagai Kapolri. Belum usai berjibaku dengan para pelaku penculikan dan pemerkosaan, terjadi penyelundupan mobil mewah besar di Jakarta. Keterlibatan putra seorang pejabat tinggi di tanah air membuat kasus ini sulit disentuh dasar masalah. Para pelaku telah mengantisipasi langkah Hoegeng dan anak buahnya, semakin dalam penyelidikan, semakin bukti-bukti menghilang.
Kasus-kasus itu membebani nurani Hoegeng dan menguji integritasnya sebagai polisi. Dua kasus ini cukup menyita energinya dan tidak terbuka, sampai dia dicopot dari Kapolri (hal 361-2). Tentu saja otensitas data dan fakta tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis. Ada nama-nama yang dibiarkan apa adanya seperti Soeharto dan Adam Malik. Ini menegaskan nuansa sejarah novel.
Novel ini menarik karena rangkaian peristiwa ditulis mengalir lancar, meskipun ada beberapa penggambaran moment sejarah yang terlalu detail. Hal seperti ini tidak perlu dimasukkan seluruhnya ke dalam cerita.
Namun itu tidak mengurangi mutu novel dan tujuan karya. Novel ini bisa menjadi pengingat sosok Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, sebagai pemimpin dan pejabat negara yang sederhana, jujur, dan lurus. Prinsipprinsipnya rasanya memang sulit ditemukan pada tahun-tahun belakangan. Diresensi Denny YF Nasution, staf ahli anggota DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar