Rabu, 30 September 2015

Promo #HalamanTerakhir di Timeline FB Saya


REVIEW Halaman Terakhir oleh Luckty Giyan Sukarno di Facebook



Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan. Akan terasa sedikit gatal, lantas kita akan menggaruknya pelan-pelan dengan rasa nikmat luar biasa. Makin sering dan makin banyak diterima, gatal itu akan semakin intens, menggaruknya pun semakin keras, hingga bernanah. Karena itu, jauhi kuman dan upayakan untuk jangan sampai menempel pada bagian tubuh kita. Uang akan membuat tubuh kita selalu gatal bagai luka korengan. (hlm. 131)


Bagi Hoegoeng, menjadi polisi memang bukan perkara mudah. Tanggung jawab yang dimiliki mesti dipikul sepanjang hidup. Dan, mengendalikan diri dalam tanggung jawab itulah yang terpenting untuk  dijalani.

Hoegeng mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi ia tahu, kadang sebuah masalah tak sekedar seperti yang terlihat di permukaan; seringkali, bayang-bayang di belakangnya jauh lebih menakutkan!

Beliau tidak pandang bulu dalam bertindak. Pertama, saat anaknya, Aditya mendaftar ke AKABRI. Anaknya ini ingin bergabung di Angkatan Udara dan menjadi pilot pesawat tempur. Beliau tidak mau jika anaknya diterima hanya karena nama besar beliau. Anaknya sempat kecewa dengan keputusannya itu.

Kisah seperti itu tak hanya terjadi pada Aditya. Kepada istrinya pun, ia cukup keras memegang prinsip. Tak banyak yang mengetahui kisah ini. Kadang, ini terasa begitu penuh tekanan, jauh lebih membuatnya tertekan daripada tugas-tugasnya sebagai polisi. Namun, Hogeong selalu meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang memang harus dilakukan.

Membaca kisah Hoegoeng ini, hidupnya nggak beda jauh ama babe sendiri. Meski bukan berlatar belakang militer, tapi beliau amatlah tegas dan disiplin. Dulu kalo berangkat sekolah, telat dari jam waktunya berangkat, bakal ditinggal. Jangankan berangkat sekolah, sampai sekarang pun kalau ada acara keluarga seperti ke pernikahan saudara, kalo jam tujuh ya jam tujuh, lewat dari jam segitu bakal ditinggal, jadi semua saudara udah pada hapal kebiasaan babe ini. Mana ada yang berani ngaret kalo janjian ama babe, gyahahaha... :D

Ada dua kasus besar yang dibahas dalam buku ini. Pertama, tentang kasus pemerkosaan yang menimpa wong cilik. Kedua, tentang penyelundupan mobil mewah besar. Sebenarnya ini perkara yang bisa saja ditaklukkan Hoegoeng bersama anak-anak buahnya yang juga berdedikasi. Permasalahannya adalah dua kasus ini melibatkan orang-orang besar di negeri ini. Yang salah menjadi benar, begitu pula sebaliknya. Hoegoeng mengalami dilematis besar, harus memilih antara hati nurani atau keputusan pihak atas.

Kadang, sebuah vonis memang tak selalu bisa menyenangkan setiap orang, bukan? (hlm. 401)


Awalnya saya sempat ragu membaca ini dalam sekali duduk. Saya memang punya kebiasaan membaca buku dalam sekali waktu, kecuali kumpulan cerpen yang membacanya bisa dicicil tanpa harus selesai bersamaan dalam satu waktu. Tapi, tulisan Mas Yudhi ini mampu menyedot pikiran kita sebagai pembaca. Kita diajak seolah menyusuri tidak hanya kehidupan Hoegoeng semata, tapi juga kisah Sumaryah si gadis lugu yang penuh tekanan, Djaba Kresna dengan liputan dan tulisannya, serta anak buah Hoegoeng yaitu Jati Kusuma dan Wulan Sari.

Dua tokoh terakhir yang saya sebutkan tadi adalah tokoh favorit yang ada dalam buku ini. Sangat mustahil di zaman sekarang ini menemukan polisi seperti sosok Hoegoeng semasa hidupnya, ya minimal seperti Jati Kusuma ama Wulan Sari boleh juga ya, tapi kok sampe sekarang saya sama sekali belum menemukan sosok berdedikasi seperti mereka. Apa saya yang kurang gaul, atau kurang piknik?!? X))

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Hidup kadang memang disertai firasat. (hlm. 13)
  2. Jalanan memang merangkai ceritanya sendiri. (hlm. 27)
  3. Apa yang tak bisa dicapai seseorang dalam kehidupan jika ia jujur? Orang bisa dicintai, dimuliakan dan dihormati. (hlm. 102)
  4. Tuhan selalu membalas keteguhan seseorang terhadap nilai-nilai kebaikan. (hlm. 160)
  5. Jangan takut, semua akan baik-baik saja. (hlm. 179)
  6. Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya. (hlm. 375)
  7. Kadang, ada sebuah pertemuan yang akan diingat sepanjang hidup. (hlm. 408)
  8. Semua keputusan ada alasannya. (hlm. 419)
  9. Pada akhirnya, semua mesti kembali pada awal mula. (hlm. 424)
Banyak juga kalimat selipan sindiran halusnya:
  1. Siapa yang bisa menghindar? Bahkan, malam paling senyap pun akhirnya kalah dari sinar pagi yang paling lemah. Dan, siang paling terik sekalipun, kalah dengan rinai-rinai yang tak bertanda di tubuh. (hlm. 118)
  2. Sebenarnya mudah saja menilai seseorang itu berbohong atau tidak. (hlm. 200)
  3. Hidup di bawah bayang-bayang kematian tentu bukan hidup yang nyaman untuk dijalani. (hlm. 319)
  4. Adakalanya seseorang memang tak lagi bisa melawan, sekeras apa pun ia berusaha. (hlm. 407)
  5. Percayalah, hari pembalasan itu selalu tiba! (hlm. 414)
  6. Selalu ada sisi buruk dari berlalunya waktu. (hlm. 421)
Sekian kalinya membaca tulisan Mas Yudhi bernapas sejarah. Sebelumnya saya sudah membaca bukunya yang bertema sejarah berjudul Untung Surapati dan Pandaya Sriwijaya. Buku bertema sejarah memang cocoknya ditulis seperti ini, gampang dicerna karena dituliskan secara deskriptif dan tidak monoton seperti buk sejarah versi buku pelajaran.

Setelah buku ini, saya juga tertarik nih membaca buku bertema sejarah yang juga diterbitkan Noura Books baru-baru ini; 693km; Jejak Gerilya Sudirman. Sebagai anak jebolan IPS, satu-satunya pelajaran sosial yang saya suka adalah sejarah! ;)

Keterangan Buku:
Judul : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penyunting : Miranda Harlan
Penyelaras aksara : Nunung Wiyati & Sittah Khusnul Khotimah
Penata aksara : Abd Wahab & Alfiyan Rajendra
Desain sampul : AAA
Penerbit : Noura Books
Terbit : Februari 2015
Tebal : 436 hlm.
ISBN : 978-602-7816-65-7


https://www.facebook.com/notes/luckty-giyan-sukarno/review-halaman-terakhir/10152920556532693

Foto Adik-adik di SMA Negeri 2 Metro Lampung kiriman Mbak Luckty Giyan Sukarno :)


Resensi Halaman Terakhir dan Wawancara bersama Yudhi Herwibowo oleh Alvina di Blog Mari Ngomongin Buku

Judul Buku : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Tebal : 448 halaman, paperback
Cetakan pertama : Februari 2015
ISBN : 9786027816657

Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik
Pertama kali saya membaca Untung Surapati karya Mas Yudhi, saya hampir tak bisa berhenti membacanya. Menurut saya, Mas Yudhi cakap sekali menyusun cerita yang berdasarkan sejarah. Alurnya mengalir dengan apik dan lancar, seakan akan kita ikut ada di sana menyaksikan kisahnya. Maka ketika ia menerbitkan satu lagi bukunya yang berhubungan dengan sejarah, saya langsung memasukkannya ke dalam daftar baca.

Halaman terakhir menceritakan tentang Hoegeng, mantan Kapolri yang punya riwayat membanggakan. Ada kisah- kisah yang belum selesai saat Hoegeng lengser dari jabatan Kapolri, tetapi ada dua yang merupakan kasus besar yaitu Sum Kuning dan Cahaya. Sum kuning merupakan kasus pemerkosaan seorang gadis penjual telur di Yogyakarta, sedangkan Cahaya merupakan kasus penyelundupan mobil-mobil mahal ke Indonesia.

Sebagai Kapolri, Hoegeng mengikuti perkembangan kasus Sum meski tempat kejadian berjarak ratusan kilometer dari markas besarnya. Sum mengaku telah diperkosa di dalam mobil kombi merah oleh empat orang pemuda. Tetapi polisi setempat mencoba menutup nutupi kasus ini, bahkan mengambil kambing hitam sebagai pelakunya. Desas desus mulai bermunculan, banyak pihak yang menyebutkan bahwa polisi berpura pura menutup mata karena salah satu tersangka memiliki hubungan kekeluargaan dengan seorang Jenderal besar. Apa benar demikian?

Sementara itu, di Jakarta sedang mencuat kasus penyelundupan mobil mewah. Hal yang paling menyesakkan Hoegeng tentang kasus ini, kelak, adalah karena tersangka memiliki hubungan dengan orang yang selama ini sangat dihormati Hoegeng. Sejak itu ia tahu, ia tak akan pernah bisa menyelesaikan kasus ini, bahkan sampai ia lengser dari jabatannya.

Ternyata seperti dugaan saya, buku ini selesai saya baca hanya dalam semalam hari. Padahal biasanya mah saya selalu tersendat sendat saat membaca hal hal yang berhubungan dengan sejarah. Alurnya cepat, gerak gerik tokohnya dilukiskan dengan apik dan membuat pembacanya penasaran, seberapa besar sih masalah yang dihadapi Hoegeng ini. Melalui buku ini juga kita seakan kembali lagi ke Indonesia puluhan tahun lalu, dengan latar yang diceritakan secara sederhana tapi tetap mampu mepermudah pembaca membayangkan adegan demi adegannya.
Hoegeng (source.wiki)
Karena buku ini juga, saya jadi mencari tahu sejarah dan sepak terjang Hoegeng, karena jujur saja sebelumnya saya tak tahu Hoegeng itu siapa. Apa sih yang membuat beliau menjadi sosok istimewa? Ya, ternyata setelah membaca buku ini saya baru tahu kebaikan dan ketulusan seorang Hoegeng. Sebagai seorang petinggi, ia jeli dan tegas saat menilai atau menghadapi suatu kasus. Bahkan meski kasus tersebut berada di luar Jakarta, ia sebagai Kapolri terus mengawasi bahkan jika perlu turun tangan membantu penyelidikan. Sebagai seorang pribadi, Hoegeng memiliki sifat ramah dan perhatian bahkan terhadap anak buahnya. Ia juga sangat menyayangi istri dan keluarganya dan yang lebih utama, ia adalah seorang yang amat jujur. Contohnya saja ketika istrinya ingin pulang menengok ayahnya yang sakit di luar negeri, meski sang istri dapat sumbangan uang dari saudara saudaranya, tapi dengan berat hati Hoegeng tak mengijinkannya pergi sebab Bagaimana kalau nanti orang orang mengira uang tersebut bukanlah uang "halal"? Atau ketika Hoegeng dan sang istri memiliki toko bunga yang kemudian ditutup, karena bagaimana kalau kemudian setiap ada acara, banyak kolega yang memesan rangkaian bunga ke toko mereka? Bukankah itu akan mematikan penjualan toko bunga lainnya? Duh, saya rasa istri Hoegeng juga punya hati yang sama luasnya seperti milik beliau.

Ah sebuah cerita yang apik dan berkesan, memberi teladan bagi kita agar selalu berusaha untuk bersikap jujur.
Nah, saya juga punya sedikit ngobrol sama Mas Yudhi, sang penulis Halaman Terakhir. Orangnya baik banget, diemail aja mau njawab loh.. XD
Berikut percakapan saya dengan beliau.. plus beberapa pertanyaan titipan dari MbakDesty dan Dion.. 
Yudhi Herwibowo
1. Perihal apa yang membuat Mas Yudhi membuat novel ini? Apakah tawaran dari Mizan atau memang niatan pribadi? Ceritain dikit donk x)
Awalnya Penerbit Noura memang punya rencana menovelkan beberapa tokoh inspiratif di nusantara. Saya dihubungi untuk menulis seorang tokoh. Namun karena kurang sreg dengan tokoh yang ditawarkan, saya menolak. Sampai akhirnya tokoh Hoegeng kemudian ditawarkan. Saya kemudian menerimanya dengan sangat yakin.

Tentu untuk menulis biografi atau novel yang diangkat dari biografi seseorang, penulis harus memiliki ketertarikan dengan karakter tersebut. Dan sudah sejak lama saya memang sudah mendengar tentang reputasi Bapak Hoegeng. Saya senang bisa menulisnya.
2. Sejak kapan Mas Yudhi mengetahui sosok Hoegeng? Apakah jauh sebelum acara Kick Andy diputar?
Sebelumnya saya hanya mendengar tentang sosok Hoegeng samar-samar saja, misalnya seperti yang sering diungkapkan oleh Gus Dur (dan dipakai sebagai salah satu emdorstment di cover buku saya). Itu quotes yang sering dipetik di mana-mana. Tapi kisah Hoegng yang cukup lengkap memang baru saya tahu saat acara Kick Andy tahun 2009 itu.
3. Berapa lama waktu yang diperlukan Mas Yudhi mulai dari riset sampai naskah jadi? Terus revisinya berapa bulan sampai naik cetak?
Sebenarnya penggarapan awalnya tak lebih dari 6 bulan. Ini sudah termasuk riset di beberapa perpus di Solo dan Jogja, dan mendatangi Mas Aditya Hoegeng di Jakarta beberapa kali. Namun setelah jadi, sambil menunggu daftar terbit, saya merevisinya, mungkin sekitar 6 bulan juga.
4. Saya selalu suka sama cerita cerita Mas Yudhi yang terilhami sejarah. Seperti Untung Surapati sebelumnya, Novel Halaman Terakhir ini juga padat dengan peristiwa peristiwa. Apakah Mas yudhi memang suka pelajaran sejarah dari kecil? Apa yang membuat Mas Yudhi menyukainya?
Saya memang suka sejarah. Sebelum Untung Surapati saya menulis Pandaya Sriwijaya, bahkan sebelum itu saya menulis novel Samurai Cahaya, yang walau pun merupakan novel samurai, sedikit menyerempet soal sejarah Jepang.

Menulis Halaman Terakhir merupakan tantangan buat saya, karena bila dalam Pandaya Sriwijaya saya hanya menempatkan sejarah dalam setting, dan dalam Untung Surapati  saya menempatkan keutuhan sejarah begitu kental, di Halaman Terakhir saya mencoba berada di tengah-tengah. Data sejarah yang sebenarnya sangat banyak itu, harus saya pilih-pilih agar buku ini tidak menjadi buku yang penuh data. Saya memang sangat menghindari catatan kaki, karena menyadari bagaimana posisi novel sebenarnya. Saya tetap harus mengutamakan keasyikan membaca novel, bagaimana saat pembaca merasa sedih, atau gembira. Inilah saya rasa yang menjadi tantangan bagi penulis sejarah yang sesungguhnya.
5. Ada ngga sih, sosok penuh inspirasi lainnya yang amat ingin Mas Yudhi jadikan tokoh dalam novel karya Mas Yudhi? Kalau ada, siapa?
Sebenarnya ada beberapa tokoh yang ingin saya tulis. Beberapanya sudah saya tulis dalam cerpen. Misalnya Raden Saleh, Van Gogh, Amir Hamzah, Tan Koen Swie, dll.

Untuk novel saya ingin sekali menulis tentang Chairil Anwar, atau Tan Malaka. Tapi sepertinya sudah banyak penulis yang menulis tentang 2 tokoh itu.
6.  Selain 2 kasus terakhir di dalam buku, ada nggak kasus lain yg didapat dari hasil penyelidikan Mas Yudhi?
Sebenarnya banyak. Beberapanya sempat saya singgung sedikit dalam Halaman Terakhir, misalnya tentang penangkapan seorang jenderal polisi yang dituduh menjadi backing seorang pengusaha dan akhirnya memakai ilmu hitam pada Hoegeng. Itu kisah yang benar-benar ada. Atau kisah tentang fitnah tentang kepemilikan perusahaan topi helm. Itu juga ada. Namun memang beberapanya tak cukup besar. Dua kasus terakhir itulah yang memang cukup besar. Walau secara tegas dalam novel itu, saya tak sekali pun menyebut tentang 2 kasus itu, dengan sebutan yang dikenal oleh masyarakat selama ini. Hanya saja blurps yang dibuat penerbit di cover itulah yang mengarahkan pembaca pada 2 kasus itu.
7. Apa kesulitan paling besar yang Mas Yudhi hadapi saat membuat novel ini?
Kesulitannya mungkin saya merasa terlalu banyak mengutip buku lainnya. Ini membuat saya tak nyaman. Kadang ada beberapa bagian yang saya pikirkan lama sekali. Misalnya percakapan Hoegeng dengan beberapa tokoh ternama, misalnya Presiden Soekarno. Rasanya aneh saat saya hanya menyalin saja percakapan itu. Tapi karena itu merupakan autobiografi, saya juga tak cukup berani mengubahnya. Sehingga yang kemudian saya lakukan hanyalah berusaha membuat kalimat-kalimat berbeda, dengan makna yang hampir sama. Saya pikir ini bisa dimaklumi.

Buku autobiografi Hoegeng yang ditulis Abrar Yusa dan Ramadhan KH itu memang merupakan buku yang sangat lengkap, hampir kisah-kisah masa lalu Hoegeng saya ambil dari buku itu. Sebenarnya saya sempat melakukan crosscheck dengan bertanya beberapa pertanyaan pada Mas Aditya Hoiegeng, namun jawabannya kurang lebih sama dengan yang ada di dalam buku.
8. Ada harapan khusus ngga terhadap pembaca yang udah membaca buku ini? Misalnya apa menginspirasi, atau mengenal sosok Hoegeng lebih dekat, atau sebagainya gitu?
Saat saya pertama kali datang, Mas Aditya Hoegeng bertanya pada saya, kenapa saya memilih Hoegeng? Ia bercerita bagaimana buku sebelumnya –yang merupakan kumpulan esai tentang Hoegeng- menumpuk di gudang penerbit dan tak laku, hingga kemudian diupayakanlah agar buku itu dapat tersebar dengan mengajukannya pada acara Kick Andy.

Saya sudah tahu bagaimana posisi buku saya ini kelak, tapi pertimbangan menulis tentu bukan sekadar masalah laku dan tak laku, ada yang harus diupayakan lebih dari itu. Menulis sosok Hoegeng, seperti menjadi keharusan bagi saya, di mana kondisi kepolisian kita saat ini ada dalam posisi yang tak cukup dipercaya oleh publik. Saya merasa para calon polisi dan polisi muda seperti kehilangan pegangan tentang sosok panutan. Hadirnya sosok Hoegeng, saya rasa dapat -sedikit-banyak- mengembalikan keyakinan itu.  Dan saya berharap semuanya menjadi lebih baik.
Terima kasih Mas Yudhi, saya pribadi berharap semoga Mas Yudhi makin banyak menulis kisah-kisah yang menorehkan sejarah lainnya :) 
http://www.orybooks.com/2015/08/resensi-halaman-terakhir-dan-wawancara.html