Judul buku : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Pertama, Februari 2015
Tebal : viii+436 halaman
ISBN : 978-602-7816-65-7
Peta kejujuran kepolisian Indonesia pernah dirute
oleh sosok Hoegeng. Satu Jenderal Polisi Hoegeng, harapan Indonesia jujur,
berani, dan bermartabat adalah keniscayaan. Lewat novel ini, Yudhi Herwibowo
menampilkan sosok Hoegeng tidak hanya sebagai atasan yang memberikan kepercayaan
bagi anak buah untuk bekerja bagi Indonesia. Hoegeng juga sosok bapak dan suami
yang menasbihkan kejujuran sebagai pedoman hidup.
Hoegeng memiliki empat nama. Abdul Latif adalah nama
pemberian seorang peramal, kawan ayahnya. Nama Hoegeng Iman Santoso adalah nama
pemberian ayah. Eyang putri dari pihak ibu menamai Hoegeng Iman Soedjono. Buyut
memberi nama, Hoegeng Iman Waskito. Namun, Hoegeng lebih menyukai nama
“Hoegeng” saja yang menurutnya tidak mengandung
misi terlampau berat. Bahkan, nama ini bermula dari nama panggilan “si
bugel” karena Hoegeng memiliki tubuh gemuk. Panggilan ini kelamaan menjadi “Boegeng”
dan akhirnya menjadi Hoegeng.
Imajinasi polisi di benak Hoegeng bermula dari kawan
ayahnya bernama Ating Natadikusumah, Kepala Jawatan Kepolisian yang sering
mampir ke rumah. Visualitas sang polisi begitu memesona di mata Hoegeng kecil.
Seragam dinas menampakkan kegagahan, apalagi saat itu Ating mengendarai Harley
Davidson yang keren. Ditambah pistol terselip di pinggang merawat ingatan
Hoegeng untuk kelak menjadi polisi.
Dari hidup Hoegeng, pembaca insaf bahwa jalan hidup
kepolisian sering berliku dan banyak godaan. Hoegeng menolak “hadiah selamat
datang” saat ditugaskan sebagai kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatra Utara pada
1955. Hoegeng mengharamkan barang sogokan untuk melicinkan segala tindak
penggelapan, penyelundupan, korupsi. Di masa Orde Baru, Hoegeng yang menjabat
Kapolri membentuk tim penyelidik untuk kasus perkosaan dialami Sumaryah di
Yogyakarta yang justru dituduh membuat pengakuan palsu oleh kepolisian daerah.
Sadar, kejujuran dan keberanian Hoegeng adalah
ancaman yang bakal menghancurkan stabilitas “keamanan” dari para penguasa. Ada
kejujuran yang nyaris kalah. Hoegeng akhirnya memilih keluar ketimbang menerima
posisi sebagai Duta Besar Kerajaan Belgia yang berarti “pembuangan” diri agar
tidak mengganggu jalan kelicikan. Membaca Hoegeng adalah membaca Indonesia di
saat kejujuran menjadi laku langka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar