Senin, 25 Mei 2015

TIGA JALINAN KEJUJURAN, oleh: BENI SETIA, dimuat di Lampung Post 17 Mei 2015



         BUKU Yudhi Herwibowo, Halaman Terakhir: Sebuah Novel tentang Jenderal Pol-si Hoegeng, Jakarta: Noura Books, 2015, merupakan satu oplosan--ada fakta dan banyak fiksi. Fakta merujuk pada sosok fenomena idealistik di tengah zaman yang amat mencari keuntungan dengan mempersetankan yang lain, sedangkan fiksi merujuk pada bagaimana imajinasi dan dramatisasi bermain dalam rentang waktu dan fakta tak terbantah tak boleh diubah dari postulat antara titik mula A dengan titik akhir O. Fakta karier polisi Hoegeng, dan fiksionalisasi bagaimana suka dan duka itu sengaja digenangi dengan dramatisasi.
         Di titik ini, novel-biografi Halaman Terakhir--selanjutnya HT--, maju menceritakan karier Hoegeng, dan sekaligus data-data dari fakta yang membuat Hoegeng terpojok serta membentur karang, sehingga kariernya mandeg--bahkan disisihkan--, yang dengan sangat sengaja disamarkan. Hal yang membuat generasi muda yang yang tak pernah mengalami era Orba masa 1970-an awal tidak bisa mengenalinya sebagai fakta terselubung, bahkan (mungkin) menganggapnya melulu angan-angan--upaya membentuk model ditektif tidak jelas, penokohan summir dari polisi yang dicoba jadi semacam Simon Templar. Yang tak kesemapaian dan jadi lebih buruk dari sekedar sosok sepion Melayu, misalnya.
         Memang. Tapi pemiksian itu--setidaknya hal nama--sesuatu yang sengaja dilakukan dan terpaksa diambil oleh pengarang, karena ia tahu ada sesuatu yang membuat semua itu tidak selesai. Dan kalaupun terpaksa dilakukan tindakan, maka itu dengan kondisi sangat terbatas, dengan pengaburan canggih buat melindungi sesuatu--sekaligus semua laku dan tindakan dilakukan agar yang dilindungi aman. dan kontrol agar semua hal tak dibongkar karena tak boleh dibuka sampai kapanpun. Tak heran kalau si pengarang, ketika mencari data, diingatkan agar berhati-hati, bahkan diingatkan ihwal adanya si sesuatu yang kuasa bertindak kasar karena kepentingan serta citra diri tidak ingin dibongkar--karena itu tidak boleh disinggung-singgung danterlebi kalau dibongkar.
         Tapi apa itu? Jawabannya barangkali ada di ujung link internet, di ujung dari suatu kesungguhan mencari data dari pemberitaan dan opini yang ketika itu dikembangkan di beberapa media masadi daerah dan nasional yang kini tersimpan di meuseum pers, serta sekaligus memahami apa yang memang dibungkam hingga seorang Hoegeng disisihkan-- sampai meninggal dalam posisi tersisih. Sebuah kekuatan besar yang sebenarnya dilawan Hoegeng--sekaligus tidak bisa dilawan--, dan karena itu tragika Hoegengpun mengemuka dalam sakralisasi--seperti yang dinyatakan almarhum Gus Dur, ” .. hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polsi,polisi tudur, dan pak Hoegeng …”
         Detail apa yang dilakukan Hoegeng--adagium ”Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.,”--hingga ia tersisih? Novel HT, secara sederhana, dan serentak--meski terkondisi keterbatasan teks hingga ada pembabakan-: mengisahkan tiga peristiwa dalam pilinan besar yang bertumpu di sejarah hidup Hogeng. Itu jangkar, di mana hal faktual eksistensial itu memilin dua kisah yang mebuat sejarah hidup dan karier Hoegeng berubah, dan dua kisah itu--yang sangat sadar disamarkan hingga jadi semacam fiksi dengan sentuhan-sentuhan dramatisasi--adalah peristiwa lokal di Yogyakarta, dan si peristiwa kriminal berdasi di Jakarta. Sederhana, tapi jadi rumit karena sengaja diperumit oleh tokoh berpangaruh, pembuat skenario pengaburan dengan melibatkan banyak pihak.
          Ada konspirasi, pem-backing-an yang membuat segalanya ada dalam ketakjelasan.
Yang di Yogya menyangkut kenakalan remaja--meski dilakukan oleh brandal yang telah berkeluarga--, dalam ujud pencegatan dan pemerkosaan, tapi kekerasan itu menjadi kabur karena dikaburkan berhubung pelakukanya keluarga berada, si berpengaruh--baik abatan resmi dan sosok kedaerahan--, yang harus dilindungi. Sedangkan sosok si preman murni penenggak ciu--dan traumatik, hingga membuat pengakuan tertulis--, segera diamankan, dikondisikan ”tak sehat” karena mengalami delusi--sebenarnya traumatik. Si orang yang selamanya terpaksa dirawat di RSJ, sehingga pengakuannya tak bisa dianggap kebenaran. Sistimatik--tidak terbantah--, meski terus melentikkan tanda tanya. Benarkah?
         Sedangkan pengakuan memang ada mobil kombi merah berkeliaran, dari saksi lugu yang syir pada korban, dirubah jadi pengakuan pesetubuhan suka sama suka? Benarkah?
Akhirnya padam sendiri,dengan pendekatan psikologis dari ahli terpilih menyugesti: agar
korban mengikuti skenario resmi agar ia terbebas dari pemberitaan serta interogasi. Apa skenario itu juga yang dijalankan pada kasus Oedin Bernas? Kita tidak tahu, tapi polanya sepertinya sama. Itu kasus yang sampai saat ini tak terpecahkan, karena dikelola agar tak terpecahkan--jadi yang berkode x-file, meski tersimpan di rak utama hukumullah. Sedang yang di Jakarta, menyangkut tokoh yang melakukan penyelundupan mobil mewah lewat manipulasi lihay pada data ekspor, sehingga negara kehilangan potensi pendapatan bila si ekspor itu dilakukan secara sah.
         Bisa dibongkar, pelakunya ditangkap tapi peristiwa itu mengambang karena campur tangan gaib per-bacing-an, bahkan pelaku bisa kembali lagi menyeledup tanpa rasa takut apa-apa. Di titik ini suatu penyergapan membuat pelaku tertangkap basah, konspirasi bisa dibongkar paksa, tapi itu hanya terbatas karena aspek backing yang mat kuat--bahkan itu yang membuat Hoegeng disisihkan. Mengerikan sekali. Terlebih kita percaya, kalau HT itu menyiratkan: hal seperti itu masih berlangsung di Indonesia, dengan tarap yang sama seperti itu, dan kemungkinan malahN lebih parah lagi. Di titik ini, telah merdekakah kita, atau malah justru terjatuh ke tangan para begal?***


BENI SETIA. Pengarang
Rekening: BCA KCP Caruban No 3281012663

Tidak ada komentar:

Posting Komentar