Selasa, 09 Juni 2015

Review Halaman Terakhir, oleh Desti Nugrainy di Blog Desti Baca Buku

Judul Buku : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Halaman : 448
Penerbit : Noura Books

Jika penulis buku ini mengatakan di pengantar-nya, ‘saya mungkin terlambat’, maka saya sebagai pembaca jelas sudah terlambat. Jujur saja, saya baru mendengar nama seorang Hoegeng. Tapi dua kisah utama di dalam buku ini, Sum Kuning dan Penyelundupan Mobil Mewah, saya pernah mendengar dan mengetahuinya meski hanya samar-samar. 

Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, menjabat sebagai Kepala Polisi Negara (sekarang disebut sebagai Kapolri) pada awal masa Orde Baru. Kala itu, di Yogyakarta ada sebuah kasus penculikan dan pemerkosaan seorang gadis penjual telur bernama Sumaryah. Menurut keterangan korban, dia diculik dan diperkosa oleh empat orang pria di dalam sebuah mobil Kombi berwarna merah. Masa itu tidak banyak orang yang mempunyai kendaraan roda empat mewah, apalagi berwarna merah yang mencolok. Dengan bantuan seorang wartawan, Djaba Kresna, kisah Sumaryah mulai menjadi pusat perhatian.

Sayangnya, polisi di Yogyakarta menilai laporan Sumaryah adalah palsu. Ketika Djaba Kresna menyelidiki kasus ini lebih lanjut, ternyata ada salah satu pelakunya masih kerabat dekat “orang penting” yang punya koneksi ke Kepolisian. Wajar saja, kasus ini lantas dibelokkan. Namun jauh di Jakarta, Hoegeng merasakan ada yang janggal dari cara bawahannya menyelesaikan kasus ini. Dia lantas membentuk tim khusus untuk menyelidikinya.

Di saat yang hampir bersamaan, Hoegeng juga sedang menangani kasus penyelundupan mobil mewah oleh seorang broker bernama Soni Cahaya. Ketika polisi sudah berhasil melakukan penyergapan dan menangkap Cahaya, ada pihak lain yang memberikan jaminan kebebasannya. Hasil penyelidikan memaparkan fakta bahwa ada banyak pejabat yang ikut terlibat dalam kasus ini, salah satunya adalah keluarga Cendana.

Dua kasus yang tidak terselesaikan bagi Hoegeng ada pada saat akhir masa jabatannya. Dua kasus yang (mungkin) memegang andil datangnya surat khusus yang menyatakan jabatan Hoegeng dialihkan menjadi Duta Besar Kerajaan Belgia. Seorang polisi jujur semacam Hoegeng tidak serta merta menerima isi surat tersebut. Dia memilih untuk keluar dari Kepolisian.

Membaca semibiografi Hoegeng di kala pemberitaan mengenai adanya kisruh antara dua lembaga penegak hukum (KPK dan Polri) membuat saya ingin sekali sosok Hoegeng ini kembali hadir di dunia nyata. Beliau sendiri telah berpulang ke Yang Maha Kuasa pada tahun 2004, setelah menjalani masa pensiun yang terkekang. Novel ini membantu saya mengenal seorang sosok polisi jujur yang pernah mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini.
“Selesaikan saja tugasmu dengan kejujuran. Karena, kita masih bisa makan nasi dengan garam.”
Novel semibiografi ini tidak membosankan bagi saya. Diwarnai kasus Sumaryah yang menyinggung masalah HAM bagi kaum kecil membuat saya penasaran bagaimana akhir dari kasus ini. Mungkin ada dari kalian yang pernah menonton film Perawan Desa, sedikit mendapat gambaran dari kasus ini. Sum Kuning atau Sumaryah dalam novel ini mewakili golongan rakyat kecil yang tidak bisa melawan kekuasaan besar. Peran wartawan dalam kasus ini juga memberi andil dan mewarnai gejolak kecil di awal Orde Baru. Namun seperti yang sudah kita ketahui bersama, Orde Baru adalah masa dimana kekuasaan satu pihak bisa membungkam satu negeri.

Saya sempat iseng bertanya pada suami saya, sebelum membaca buku ini apakah dia tahu siapa Hoegeng. Ternyata dia tahu…#ups. Saya merasa harus berterima kasih kepada penulis karena telah menghadirkan novel ini. Seandainya novel ini tidak ada, mungkin saya tidak akan mengenal siapa Hoegeng, seorang polisi jujur.

4 stars


Tidak ada komentar:

Posting Komentar