Jumat, 31 Juli 2015

Review Halaman Terakhir oleh Tanzil Hernadi di Blog Buku yang Kubaca

[No 357]
Judul : Halaman Terakhir - Sebuah Novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Februari 2015
Tebal : 436 hlm

Halaman terakhir adalah novelisasi penggalan dari kehidupan Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, sosok polisi teladan yang jujur,  berintegritas, dan sederhana yang mungkin hingga kini tidak ada yang sepertinya. Di novel ini penulis hanya membatasi kisahnya dari dua kasus terakhir yang ditangani oleh Hoegeng sebelum ia dipurna baktikan sebelum masa tugasnya berakhir oleh pemerintah Orde Baru saat itu.

Novel ini dimulai dengan sebuah prolog yang mengisahkan bagaimana pergulatan batin Hoegeng saat membaca surat dinas dari Menhankam yg salah satu kalimatnya berbunyi seperi ini

"...dengan ini kami menunjuk Jenderal Hoegeng Iman Santoso sebagai Duta Besar Kerajaan Belgia..."

Kalimat itu menandaskan bahwa tugasnya sebagi Kapolri telah selesai walaupun sebenarnya masa tugasnya belum habis. Sebagai seorang prajurit Hoegeng  menerima keputusan tersebut namun yang disesalkannya adalah mengapa ia harus berhenti saat ia sedang menyelesaikan dua kasus besar yang selama ini menyita energi dan waktunya. Dua kasus yang telah dijanjikannya akan terselesaikan selama masa kepemimpinannya.

Kemudian setting kisah beralih secara beruntun ke dua kasus terakhir Hoegeng yaitu pemerkosaan Sumaryah, gadis desa penjual telur di Jogyakarta yang kelak akan menghebohkan masyarakat Indonesia karena ada dugaan keterlibatan anak pejabat, dan kasus penyeludupan mobil mewah oleh Soni Cahaya yang memiliki kedekatan dengan Keluarga Cendana dan diduga melibatkan para pejabat terkait dalam usaha ilegalnya ini.

Dalam kisah Sumaryah penulis menarasikan tragedi gadis penjual telur itu dengan dramatis mulai dari perkosaan yang dilakukan empat orang pemuda dalam mobil combi terhadap Sumaryah hingga proses persidangan yang berlarut-larut, berbelit,  dan melelahkan.Tekanan batin yang dialami Sumaryah terungkap dengan jelas di novel ini, apalagi ketika pada akhirnya dia sempat menjadi tersangka atau bagaimana kasusnya ini menjadi kasus besar dan rumit karena diduga ada anak pejabat yang terlibat dan hadirnya tersangka dan saksi-saksi baru yang janggal. Hal inilah yang menyebabkan Jenderal Hoegeng menaruh perhatian khusus terhadap kasus ini dengan membentuk tim khusus sebelum akhirnya kasus ini tiba-tiba diambil alih oleh Terpepu (Tim Pemeriksa Pusat) yang biasanya mengurusi kasus-kasus berdimensi politik.

Pada kasus penyeludupan mobil mewah pembaca akan diajak melihat bagaimana Soni Cahaya mendatangkan mobil-mobil mewah dengan cara yang cerdik yang tentu saja melibatkan instansi-instansi terkait. Di bagian ini pembaca juga disuguhkan keseruan proses penangkapan Soni Cahaya sang gembong penyeludup mobil mewah.

Setelah menarasikan dua kasus terakhir Hoegeng, di bab-bab terakhir penulis menyuguhkan bagaimana kehidupan Hoegeng setelah tidak menjadi Kapolri lagi antara lain menjadi pengisi acara talk show Radio Elshinta yang membahas isu-isu sosial hingga menjadi seorang penyanyi Hawaian yang pada akhirnya bersama groupnya yang bernama Hawaiian Senior tampil seminggu sekali di TVRI.

Di bagian ini kita akan melihat kepedulian Hoegeng sebagai seorang polisi yang berbedikasi tidak luntur walau ia telah pensiun. Dari acara radio yang diasuhnya ia kerap menerima pengaduan-pengaduan masyarakat. Apa yang  ia dengar ia catat dan sampaikan ke teman-teman atau anak buahnya yang masih aktif di kepolisian lewat sebuah memo.

Di bagian akhir novel ini kita juga akan melihat bagaimana pada akhirnya Hoegeng disingkirkan pemerintah Orde Baru  ketika pada akhirnya ia memilih berseberangan dengan pemerintah dan bergabung bersama Jenderal (Purn) Nasution, Bung Hatta, Ali Sadikin, dll yang tergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) dan menandatangani sebuah petisi yang kelak akan dikenal dengan sebutan Petisi 50  ditujukan pada pemerintah. (5 Mei 1980)

"Dan dari situlah, semua hal yang seharusnya tak diterimanya kemudian diterima! Presiden Soeharto, yang pada tahun-tahun itu semakin kuat, merasa kalau gerakan seperti itu seperti menentang dirinya. Maka, ia kemudian mencatat semua orang yang terlibat di dalamnya. Dengan gerakan halus dan nyaris tak terlihat, Seoharto kemudian melakukan serangan balasan." (hl, 423)

Novel ini mengungkapkan bahwa sejak Hoegeng ikut menandatangani Petisi 50 maka banyak yang berubah dari kehidupannya, antara lain ia tidak bisa datang ke pernikahan Prabowo dan Titiek Soeharto padahal ia adalah sahabat Soemitro, ayah Prabowo. Selain itu TVRI juga menghentikan siaran musik Hawaiian Seniors, yang sudah berjalan bertahun-tahun. Hoegeng menerima semua perlakuan itu dengan lapang dada, hanya satu yang paling memberatkan dan melukai hatinya yaitu pelarangan dirinya untuk hadir di upacaya Bhayangkara (HUT POLRI), setiap tanggal 1 Juli. 

Selain  Hoegeng novel ini juga memunculkan tokoh-tokoh lain yaitu Djaba Kresna, wartawan yang peduli akan nasib Sumaryah yang mendapat perlakuan tidak adil yang  ia tuliskan dalam bentuk berita atau opini di koran tempatnya bekerja. Lalu ada pula tokoh Jati Kusuma dan Wulan Sari, dua orang polisi yang ditugasi oleh Hoegeng untuk menangani kasus Sumaryah dan Soni Cahaya. Ketiga tokoh ini membuat novel ini menjadi semakin menarik karena ketiga tokoh inilah yang membuat kisah Hoegeng dan dua kasus yang ditanganinya ini menjadi lebih hidup dan seru untuk dibaca.


Melalui novel yang dikerjakan hampir setahun dengan riset pustaka yang serius dan wawancara dengan keluarga Alm. Hoegeng penulis juga menyuguhkan latar peristiwa-peristiwa sejarah dan sosial yang terjadi di Indonesia semasa Hoegeng menjadi Kapolri sehingga kita bisa belajar sejarah melalui novel ini.  Di luar dua kasus besar yang ditangani Hoegeng terungkap juga  bagaimana sulitnya Hoegeng menerapkan peraturan pemakaian helm bagi pengendara motor yang mendapat banyak tantangan dari masyarakat sampai-sampai Hoegeng diisukan memiliki pabrik helm sehingga mengeluarkan kebijakan tersebut.

Secara keseluruhan novel ini berhasil mengungkap dengan baik seluk beluk dan kerumitan penanganan dari dua kasus besar yang benar-benar pernah terjadi ini dalam balutan dramatisasi fiksi yang menarik. Namun sayangnya porsi pengungkapan dua kasus ini  terlalu mendominasi kisahnya sehingga porsi dan ketokohan Hoegeng sendiri tampak sedikit tenggelam padahal sub judul novel ini adalah "Sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng". Sub judul tersebut  tentunya akan menggiring pembaca pada persepsi bahwa mereka akan banyak mendapat kisah kehidupan Hoegeng sebagai seorang polisi.

Walau demikian, sekalipun tidak banyak,  penulis tetap menyertakan kilasan-kilasan kehidupan Hoegeng mulai dari awal kariernya di kepolisian hingga masa pensiunnya sehingga pembaca dapat  melihat sosok dan keteladanan Hoegeng sebagai polisi yang berdedikasi, jujur, dan sederhana. Hal ini antara lain terungkap ketika Hoegeng ditugaskan sebagai Kadit Reskim Sumatera Utara.

Ketika itu di dalam rumah dinasnya, ditemukan barang-barang mewah kiriman seorang pengusaha yang mengaku sebagai Ketua Panitia Selamat Datang. 

Tentu saja, Hoegenge menolak sambutan itu. Namun, si tukang suap ternyata bukan orang yang mudah menyerah. Ia tak menghiraukan penolakan Hoegeng yang meminta barang-barang itu diambil kembali. Sehingga, sampai batas waktu yang ditetapkan, Hoegeng akhirnya memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan barang-barang itu dari rumah dinasnya. (hlm 129-130)

Sikap Hoegeng untuk menolak pemberian itu adalah tindakan nyata dari apa yang pernah dipesankan Hoegeng pada anak buahnya sbb :




Selain hal di atas masih ada beberapa kisah lain yang mengungkap kejujuran dan dedikasi Hoegeng pada tugas yang diembannya sehingga novel ini patut dibaca oleh siapapun di tengah langkanya figur seorang pemimpin teladan di tengah-tengah kita. Dipaparkannya dua kasus besar yang  sarat konflik kepentingan di masa Hoegeng bertugas di tahun 70an ini menyadarkan kita bahwa keadilan yang hampir tidak pernah dirasakan rakyat kecil seperti Sumaryah dan kasus kejahatan yang  yang melibatkan instasi oknum-oknum di jajaran pemerintahan tetap saja masih terjadi di jaman ini. Apakah ini menandakan bahwa dalam segi hukum dan keadilan negara kita hanya "berjalan di tempat" ?

@htanzil


Tidak ada komentar:

Posting Komentar