Judul :
Halaman Terakhir
Penulis :
Yudhi Herwibowo
Penerbit :
Noura Books, Jakarta
Cetak :
2015
Tebal :
436 halaman
ISBN :
978-602-7816-65-7
Sejak kecil, Hoegeng
sudah mengimpikan jadi polisi. Tuhan mengabulkan doa dan ikhtiar Hoegeng. Lelaki kelahiran di Pekalongan, 14 Oktober
1921, berhasil menjadi polisi teladan meski karier berakhir dengan kesedihan
pada 2 Oktober 1971. Hoegeng memilih mengundurkan diri ketimbang menerima
tawaran menjadi duta besar di Belgia. Di hadapan Soeharto, 6 September 1971,
jenderal polisi bertubuh kurus itu berani memberi jawaban tegas untuk tak
melanjutkan karier sebagai duta besar, beralasan ingin tetap berada di
Indonesia. Jawaban mengandung misteri atas kebijakan Soeharto melakukan pergantian
pucuk pimpinan kepolisian.
Hoegeng adalah nama
tenar mengandung etos kerja keras, kejujuran, dan kebersahajaan. Hoegeng itu
polisi idaman bagi keluarga, jajaran kepolisian, dan publik. Hoegeng saat melangkah
pergi dari institusi tercinta mendapat hadiah hadiah wayang kulit: Brotoseno.
Hoegeng memang mirip tokoh Brotoseno: jujur dan pantang kompromi (Leila S.
Chudori, Tempo, 22 Agustus 1992). Hoegeng tetap menjalani hidup dengan
pengharapan-pengaharapan agar kepolisiain menjadi institusi terhormat dan
sanggup menegakkan hukum. Pengharapan itu terus dibuktikan sampai sekarang
meski publik mulai ragu saat melihat kebijakan-kebijakan kepolisian cenderung abai
amanat Hoegeng.
Ingatan-ingatan itu
muncul kembali dalam novel garapan Yudhi Herwibowo. Sejak mula, pengarang sudah
menjelaskan buku setebal 436 halaman ini fiksi tapi berdasarkan
penggalan-penggalan fakta sejarah. Penggarapan novel memerlukan lacak referensi
buku, koran, dan majalah. Pengarang juga melakukan wawancara dengan pihak
keluarga dan para narasumber. Novel terbit pada saat kita memberi perhatian
pada kisruh pelik di Indonesia. Setiap hari, berita-berita menegangkan sering
muncul dari pihak kepolisian. Novel ini pantas jadi bekal reflektif mengandung
ingatan sejarah untuk mengerti peran dan kebermaknaan polisi, dari masa ke
masa. Polisi bernama Hoegeng bakal mengembalikan kita ke episode-episode silam.
Hoegeng melakukan
pengabdian pada dua masa: Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa revolusi, Hoegeng
sudah bertugas sebagai polisi. Hoegeng ingat pernah bertugas menjadi ajudan
Soekarno saat berpidato di Jogjakarta, 17 Agustus 1947. Pidato menggugah,
memberi sihir pada ribuan orang. Situasi berbeda dialami Hoegeng. Perut polisi
kurus itu lapar. Hoegeng meninggalkan Soekarno, bergerak ke dapur untuk mencari
makan. Di dapur, Hoegeng makan bersama mertua Soekarno. Ulah itu diketahui
Soekarno tapi tak ada kemarahan.
Kedekatan Hoegeng dengan
Soekarno diceritakan penuh empati. Pada saat menjabat pimpinan di kepolisian
pada masa Orde Baru, Hoegeng menanggung sedih setelah mendengar kabar Soekarno
wafat. Yudhi Herwibowo menceritakan: “Entahlah, saat itu, rasanya tak hanya
tubuhnya yang lelah. Perasaannya pun seperti terguncang. Mungkin tak banyak
yang tahu kedekatannya dengan presiden pertama negeri ini. Namun, ia selalu
ingat kalau beberapa kali garis hidupnya berbelok karena sosok karismatik itu.”
Dulu, Hoegeng pernah diangkat Soekarno menjadi menteri dalam Kabinet 100
Menteri, sebelum Hoegeng memutuskan tetap melanjutkan berkarier di kepolisian.
Hubungan dengan Soekarno
tak seerat dengan Soeharto. Sejak awal pendirian Orde Baru, Hoegeng memiliki
seribu harapan Soeharto bakal bisa menggerakkan Indonesia menjadi makmur,
sejahtera, tenteram, dan harmoni. Harapan-harapan perlahan sirna. Pengangkatan
Hoegeng sebagai Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia atau Kepala
Polisi Negara, 15 Mei 1968, memberi amanah besar untuk turut mengurusi
Indonesia. Sekarang, kita mengenali jabatan itu dengan sebutan Kapolri. Tugas-tugas
besar dijalankan secara serius dan bertanggung jawab. Hoegeng membuktikan
pengabdian tanpa pamrih-pamrih picisan: popularitas dan harta.
Yudhi Herwibowo mengajak
pembaca menelisik tiga kasus besar dalam karier Hoegeng: kasus penculikan dan
pemerkosaan Sum di Jogjakarta, peraturan pemakaian helm, dan penyelundupan
mobil mewah. Hoegeng terus mendapat perlawanan dan gangguan. Indonesia memang negeri
gamang: hukum ada tapi sulit diberlakukan. Hoegeng menginsafi hukum
dipermainkan oleh pejabat. Situasi batin Hoegeng diceritakan berlatar pelbagai
kasus. Kesabaran, ketegasan, keprihatinan, dan kesedihan Hoegeng dihadirkan
dalam novel tanpa dramatisasi berlebihan. Pengarang justru selalu memberi
penjelasan agak rinci agar pembaca bisa turut merasakan gejolak batin Hoegeng.
Kemunculan tokoh istri, anak, wartawan, polisi, dan pejabat semakin menguatkan
ketokohan Hoegeng. Sekian nama disamarkan oleh pengarang.
Keberakhiran karier
Hoegeng di kepolisian memberi hikmah. Pengarang menulis kalimat elok: “Sebuah
jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di
sepanjang jalannya.” Hoegeng menjalani masa pensiun dengan melukis, menyanyi,
dan siaran di radio. Situasi Indonesia terus diamati dan dikomentari. Hoegeng
pernah mengucap sindiran saat bersiaran di radio Elshinta: “Zaman sekarang ini,
banyak orang lupa dengan misi hidupnya sehingga hidup kebendaan lebih banyak menjadi
tujuan. Mereka tidak ingat lagi anjuran Presiden Soeharto untuk hidup prasojo,
hidup sederhana…” Sindiran ini berlaku bagi para pejabat, mengarah juga ke
Cendana. Publik mulai mengetahui anak-anak Soeharto berlimpah harta,
menjalankan bisnis dinaungi kekuasaan Soeharto.
Sikap kritis Hoegeng
berlanjut sebagai penandatangan Petisi 50. Sikap politis ini membuat rezim Orde
Baru memberi represi dan kesulitan. Hoegeng tak gentar. Kita terus memberi
penghormatan atas keteladanan Hoegeng. Kita tak lupa berdoa bakal ada
polisi-polisi jujur dan bertanggung jawab, melanjutkan kerja dan ambisi Hoegeng.
Novel berjudul Halaman Terakhir membuat kita masih memiliki sepercik
harapan saat Indonesia sedang tak keruan. Begitu.
BIODATA PENULIS
Bandung Mawardi
Pengelola Jagat
Abjad Solo
Menulis di
bandungmawardi.wordpress.com
Tlp. 085647121744
Blulukan I, RT 2 RW 4,
Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah 57174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar