Judul : Halaman Terakhir : Sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Penulis : Yudhi Herwibowo (2015)
Penyunting : Miranda Harlan
Penerbit : Noura Books
Edisi : Cetakan I, Februari 2015
Format : Paperback, viii + 440 halaman
Yogyakarta di dekade ketiga pasca kemerdekaan menjadi saksi bisu atas
kasus pemerkosaan yang dialami oleh Sumaryah, si penjual telur yang
baru berusia 16 tahun. Jalanan di Jakarta tahun 1970an ikut menjadi
saksi bisu atas mobil-mobil mewah yang tiba-tiba memenuhinya. Dan Mabak
Polri (Markas Besar Kepolisian) saat itu, punya kisahnya sendiri.
Kasus Sumaryah terjadi pada suatu senja yang sepi. Saat sedang
berjalan sendirian, gadis lugu itu dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil,
dibius, dan digilir oleh tiga laki-laki di dalam mobil tersebut. Tidak
ada saksi mata, hanya kelebatan ingatan Sumaryah saat sekali waktu dia
tersadar, atau mungkin saat sedikit kesadarannya masih ada. Mulanya,
kasus ini semacam kejahatan biasa, tetapi sejak Djaba Kresna, jurnalis
harian Pelopor, mengangkat kasus ini dalam tulisan-tulisannya, serta
menerbitkan dugaan-dugaan berikut investigasi amatirnya, kasus ini
semakin ramai, hingga terdengar di Jakarta. Kesimpulan Kresna mengarah
pada sebuah keluarga yang cukup berada, mengingat jenis mobil yang cukup
mewah, serta deskripsi yang cocok dengan yang dikatakan oleh Sumaryah.
Namun, kepolisian daerah dan pengadilan semacam mencari-cari celah tidak
logis, serta menempatkan Sumaryah—yang notabene adalah korban—seperti
penjahat itu sendiri. Hal ini semakin menguatkan adanya ‘permainan’ yang
dilakukan untuk melindungi pihak-pihak tertentu. Oleh karena rumitnya
kasus ini, Hoegeng sampai-sampai mengirim tim investigasi khusus dari
Jakarta untuk membantu.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Polri sedang meyelidiki kasus
penyelundupan mobil-mobil mewah. Rangkaian penyelidikan panjang,
penyamaran, hingga pengejaran sudah dilakukan dengan hasil yang cukup
memuaskan. Akan tetapi, ternyata kejahatan beromset puluhan juta rupiah
ini teramat kuat untuk ditangani sendirian. Banyak pihak yang sudah
terlanjur terlibat, dari dalam maupun luar negeri, dari petugas rendahan
hingga pejabat. Pihak-pihak inilah; pihak-pihak yang ingin melindungi
dirinya, pihak-pihak yang tak ingin kehilangan pendapatan tambahan yang
sangat besar, yang sulit untuk dihentikan karena proses hukum yang
berjalan belum bisa menghentikan mereka. Tantangan ini tak bisa dihadapi
dengan cara-cara yang biasa.
Dua kasus tersebut dipilih oleh penulis sebagai sarana untuk
menceritakan kisah hidup Jenderal Polisi Hoegeng yang pada saat itu
menjabat sebagai Kapolri. Hoegeng yang dikenal dengan kejujuran dan
ketegasannya cukup tercermin dari caranya menangani kasus-kasus ini. Tak
sebatas itu saja, penulis juga dengan lihai menyusun sekilas
potret-potret penting dari perjalanan hidup Hoegeng, mulai dari masa
kanak-kanaknya, perjalanan pendidikan dan karirnya, kehidupan pribadi,
serta—yang utama—peranannya dalam kepolisian yang mengantarkannya menuju
kursi Kapolri.
Cara penulisan buku ini cukup mudah diikuti, dengan bab-bab pendek,
bahasa yang mengalir, ritme yang teratur, hingga tak memerlukan waktu
lama bagi saya untuk menyelesaikannya. Walaupun bukan jenis buku yang
kisahnya akan mengejutkan kita, sesekali terselip juga adegan-adegan
seru seperti pengejaran yang digambarkan dengan detail, termasuk
bagaimana cara penulis mengakhiri kisah ini cukup membuat saya ingin
segera menyelesaikan membacanya, apalagi bagian sejarah ini cukup asing
untuk saya. Ini bukan kali pertama saya membaca fiksi sejarah karya
penulis, tetapi perasaan bahwa fakta-fakta sejarah ditampilkan dengan
terlalu kaku masih ada, meskipun tak sebanyak yang sebelumnya.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Orde Baru menyimpan kisah-kisah
kebobrokan moral dan sosial di kalangan para pejabat. Buku ini
menegaskan beberapa di antaranya; budaya suap-menyuap, KKN, sampai pada
pembungkaman pers. Hoegeng sebagai karakter yang jujur termasuk sosok
yang langka. Prinsipnya untuk menolak pemberian yang berpotensi sebagai
suap, juga kehati-hatiannya dalam mengambil keputusan pribadi yang
berpotensi sebagai penyalahgunaan jabatan, memaksa keluarganya untuk
hidup sederhana.
“Menerima pemberian pertama itu seperti
menaruh kuman di lengan. Akan terasa sedikit gatal, lantas kita akan
menggaruknya pelan-pelan dengan rasa nikmat luar biasa. Makin sering dan
makin banyak diterima, gatal itu akan semakin intens, menggaruknya pun
harus semakin keras, hingga bernanah. Karena itu, jauhi kuman dan
upayakan untuk jangan sampai menempel pada bagian tubuh kita. Uang akan
membuat tubuh kita selalu gatal bagai luka korengan.” (hal.131)
Namun, keberadaan sosok semacam Hoegeng adalah duri dalam daging bagi
pihak lain yang terlibat dalam ‘permainan kotor’ bisnis dan politik.
Pencopotan Hoegeng sebagai Kapolri pada akhirnya tak lepas dari unsur
tersebut. Realitas yang sampai saat ini tidak langka di negara kita,
kejujuran seringkali dikalahkan oleh kewenangan dan kebiasaan, meskipun
itu salah. Hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, mentalitas
menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,
dan budaya yang mengagungkan hedonisme di atas harga diri.
Buku ini bisa jadi salah satu dari sekian buku yang merekam Indonesia
di masa Orde Baru. Buku yang menunjukkan sekelumit alasan mengapa
kekuasaan yang berlangsung selama 32 tahun menghasilkan masalah yang
masih dialami sampai sekarang. Meski tidak secara terang-terangan
mengkritik pemerintahan Presiden Soeharto pada masa itu, buku ini
memberi petunjuk-petunjuk kecil tentang apa yang mungkin luput dari
pengetahuan masyarakat kala itu. Apalagi sebagian besar masalah itu
sudah berakar sejak zaman penjajahan, dan dipupuk sampai sekarang.
4/5 bintang untuk Jenderal Polisi yang layak dijadikan panutan dan sepaket kritik sosial yang halus.
https://bacaanbzee.wordpress.com/2015/05/24/halaman-terakhir/#comment-4642
A Casino For Everyone – Guide (2021) - Dr.MCD
BalasHapusWe've spent over 20 years looking through casino 여수 출장샵 games for over 20 years, 성남 출장샵 from 파주 출장안마 the comfort of your 진주 출장마사지 home with the excitement of a new job. 포천 출장안마