BUKU Yudhi Herwibowo, Halaman
Terakhir: Sebuah Novel tentang Jenderal Pol-si Hoegeng, Jakarta: Noura
Books, 2015, merupakan satu oplosan--ada fakta dan banyak fiksi. Fakta merujuk
pada sosok fenomena idealistik di tengah zaman yang amat mencari keuntungan
dengan mempersetankan yang lain, sedangkan fiksi merujuk pada bagaimana
imajinasi dan dramatisasi bermain dalam rentang waktu dan fakta tak terbantah
tak boleh diubah dari postulat antara titik mula A dengan titik akhir O. Fakta
karier polisi Hoegeng, dan fiksionalisasi bagaimana suka dan duka itu sengaja
digenangi dengan dramatisasi.
Di titik ini, novel-biografi Halaman
Terakhir--selanjutnya HT--, maju menceritakan karier Hoegeng, dan sekaligus
data-data dari fakta yang membuat Hoegeng terpojok serta membentur karang,
sehingga kariernya mandeg--bahkan disisihkan--, yang dengan sangat sengaja
disamarkan. Hal yang membuat generasi muda yang yang tak pernah mengalami era
Orba masa 1970-an awal tidak bisa mengenalinya sebagai fakta terselubung,
bahkan (mungkin) menganggapnya melulu angan-angan--upaya membentuk model ditektif
tidak jelas, penokohan summir dari polisi yang dicoba jadi semacam Simon
Templar. Yang tak kesemapaian dan jadi lebih buruk dari sekedar sosok sepion
Melayu, misalnya.
Memang. Tapi pemiksian itu--setidaknya
hal nama--sesuatu yang sengaja dilakukan dan terpaksa diambil oleh pengarang,
karena ia tahu ada sesuatu yang membuat semua itu tidak selesai. Dan kalaupun
terpaksa dilakukan tindakan, maka itu dengan kondisi sangat terbatas, dengan pengaburan
canggih buat melindungi sesuatu--sekaligus semua laku dan tindakan dilakukan
agar yang dilindungi aman. dan kontrol agar semua hal tak dibongkar karena tak
boleh dibuka sampai kapanpun. Tak heran kalau si pengarang, ketika mencari
data, diingatkan agar berhati-hati, bahkan diingatkan ihwal adanya si sesuatu
yang kuasa bertindak kasar karena kepentingan serta citra diri tidak ingin
dibongkar--karena itu tidak boleh disinggung-singgung danterlebi kalau dibongkar.
Tapi apa itu? Jawabannya barangkali ada
di ujung link internet, di ujung dari suatu kesungguhan mencari data
dari pemberitaan dan opini yang ketika itu dikembangkan di beberapa media masadi
daerah dan nasional yang kini tersimpan di meuseum pers, serta sekaligus memahami
apa yang memang dibungkam hingga seorang Hoegeng disisihkan-- sampai meninggal
dalam posisi tersisih. Sebuah kekuatan besar yang sebenarnya dilawan Hoegeng--sekaligus
tidak bisa dilawan--, dan karena itu tragika Hoegengpun mengemuka dalam sakralisasi--seperti
yang dinyatakan almarhum Gus Dur, ” .. hanya tiga polisi yang jujur, yakni
patung polsi,polisi tudur, dan pak Hoegeng …”
Detail apa yang dilakukan Hoegeng--adagium
”Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.,”--hingga
ia tersisih? Novel HT, secara sederhana, dan serentak--meski terkondisi keterbatasan
teks hingga ada pembabakan-: mengisahkan tiga peristiwa dalam pilinan besar
yang bertumpu di sejarah hidup Hogeng. Itu jangkar, di mana hal faktual
eksistensial itu memilin dua kisah yang mebuat sejarah hidup dan karier Hoegeng
berubah, dan dua kisah itu--yang sangat sadar disamarkan hingga jadi semacam
fiksi dengan sentuhan-sentuhan dramatisasi--adalah peristiwa lokal di Yogyakarta,
dan si peristiwa kriminal berdasi di Jakarta. Sederhana, tapi jadi rumit karena
sengaja diperumit oleh tokoh berpangaruh, pembuat skenario pengaburan dengan
melibatkan banyak pihak.
Ada konspirasi, pem-backing-an
yang membuat segalanya ada dalam ketakjelasan.
Yang di Yogya menyangkut kenakalan
remaja--meski dilakukan oleh brandal yang telah berkeluarga--, dalam
ujud pencegatan dan pemerkosaan, tapi kekerasan itu menjadi kabur karena
dikaburkan berhubung pelakukanya keluarga berada, si berpengaruh--baik abatan
resmi dan sosok kedaerahan--, yang harus dilindungi. Sedangkan sosok si preman murni
penenggak ciu--dan traumatik, hingga membuat pengakuan tertulis--, segera
diamankan, dikondisikan ”tak sehat” karena mengalami delusi--sebenarnya traumatik.
Si orang yang selamanya terpaksa dirawat di RSJ, sehingga pengakuannya tak bisa
dianggap kebenaran. Sistimatik--tidak terbantah--, meski terus melentikkan
tanda tanya. Benarkah?
Sedangkan pengakuan memang ada mobil
kombi merah berkeliaran, dari saksi lugu yang syir pada korban, dirubah
jadi pengakuan pesetubuhan suka sama suka? Benarkah?
Akhirnya padam sendiri,dengan
pendekatan psikologis dari ahli terpilih menyugesti: agar
korban mengikuti skenario resmi agar
ia terbebas dari pemberitaan serta interogasi. Apa skenario itu juga yang dijalankan
pada kasus Oedin Bernas? Kita tidak tahu, tapi polanya sepertinya sama. Itu
kasus yang sampai saat ini tak terpecahkan, karena dikelola agar tak
terpecahkan--jadi yang berkode x-file, meski tersimpan di rak utama
hukumullah. Sedang yang di Jakarta, menyangkut tokoh yang melakukan
penyelundupan mobil mewah lewat manipulasi lihay pada data ekspor, sehingga
negara kehilangan potensi pendapatan bila si ekspor itu dilakukan secara sah.
Bisa dibongkar, pelakunya ditangkap
tapi peristiwa itu mengambang karena campur tangan gaib per-bacing-an,
bahkan pelaku bisa kembali lagi menyeledup tanpa rasa takut apa-apa. Di titik
ini suatu penyergapan membuat pelaku tertangkap basah, konspirasi bisa dibongkar
paksa, tapi itu hanya terbatas karena aspek backing yang mat kuat--bahkan
itu yang membuat Hoegeng disisihkan. Mengerikan sekali. Terlebih kita percaya,
kalau HT itu menyiratkan: hal seperti itu masih berlangsung di Indonesia,
dengan tarap yang sama seperti itu, dan kemungkinan malahN lebih parah lagi. Di
titik ini, telah merdekakah kita, atau malah justru terjatuh ke tangan para
begal?***
BENI SETIA. Pengarang
E-Mail: benisetia54@yahoo.com
Rekening: BCA KCP
Caruban No 3281012663
Tidak ada komentar:
Posting Komentar