Minggu, 29 Maret 2015

Polisi dan Kejujuran Bernama Hoegeng, oleh Bandung Mawardi di Resensi Jawa Pos, 29 Maret 2015

 
Judul              : Halaman Terakhir
Penulis          : Yudhi Herwibowo
Penerbit        : Noura Books, Jakarta
Cetak              : 2015
Tebal              : 436 halaman
ISBN               : 978-602-7816-65-7
 
Sejak kecil, Hoegeng sudah mengimpikan jadi polisi. Tuhan mengabulkan doa dan ikhtiar Hoegeng.  Lelaki kelahiran di Pekalongan, 14 Oktober 1921, berhasil menjadi polisi teladan meski karier berakhir dengan kesedihan pada 2 Oktober 1971. Hoegeng memilih mengundurkan diri ketimbang menerima tawaran menjadi duta besar di Belgia. Di hadapan Soeharto, 6 September 1971, jenderal polisi bertubuh kurus itu berani memberi jawaban tegas untuk tak melanjutkan karier sebagai duta besar, beralasan ingin tetap berada di Indonesia. Jawaban mengandung misteri atas kebijakan Soeharto melakukan pergantian pucuk pimpinan kepolisian.
Hoegeng adalah nama tenar mengandung etos kerja keras, kejujuran, dan kebersahajaan. Hoegeng itu polisi idaman bagi keluarga, jajaran kepolisian, dan publik. Hoegeng saat melangkah pergi dari institusi tercinta mendapat hadiah hadiah wayang kulit: Brotoseno. Hoegeng memang mirip tokoh Brotoseno: jujur dan pantang kompromi (Leila S. Chudori, Tempo, 22 Agustus 1992). Hoegeng tetap menjalani hidup dengan pengharapan-pengaharapan agar kepolisiain menjadi institusi terhormat dan sanggup menegakkan hukum. Pengharapan itu terus dibuktikan sampai sekarang meski publik mulai ragu saat melihat kebijakan-kebijakan kepolisian cenderung abai amanat Hoegeng.
Ingatan-ingatan itu muncul kembali dalam novel garapan Yudhi Herwibowo. Sejak mula, pengarang sudah menjelaskan buku setebal 436 halaman ini fiksi tapi berdasarkan penggalan-penggalan fakta sejarah. Penggarapan novel memerlukan lacak referensi buku, koran, dan majalah. Pengarang juga melakukan wawancara dengan pihak keluarga dan para narasumber. Novel terbit pada saat kita memberi perhatian pada kisruh pelik di Indonesia. Setiap hari, berita-berita menegangkan sering muncul dari pihak kepolisian. Novel ini pantas jadi bekal reflektif mengandung ingatan sejarah untuk mengerti peran dan kebermaknaan polisi, dari masa ke masa. Polisi bernama Hoegeng bakal mengembalikan kita ke episode-episode silam.
Hoegeng melakukan pengabdian pada dua masa: Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa revolusi, Hoegeng sudah bertugas sebagai polisi. Hoegeng ingat pernah bertugas menjadi ajudan Soekarno saat berpidato di Jogjakarta, 17 Agustus 1947. Pidato menggugah, memberi sihir pada ribuan orang. Situasi berbeda dialami Hoegeng. Perut polisi kurus itu lapar. Hoegeng meninggalkan Soekarno, bergerak ke dapur untuk mencari makan. Di dapur, Hoegeng makan bersama mertua Soekarno. Ulah itu diketahui Soekarno tapi tak ada kemarahan.
Kedekatan Hoegeng dengan Soekarno diceritakan penuh empati. Pada saat menjabat pimpinan di kepolisian pada masa Orde Baru, Hoegeng menanggung sedih setelah mendengar kabar Soekarno wafat. Yudhi Herwibowo menceritakan: “Entahlah, saat itu, rasanya tak hanya tubuhnya yang lelah. Perasaannya pun seperti terguncang. Mungkin tak banyak yang tahu kedekatannya dengan presiden pertama negeri ini. Namun, ia selalu ingat kalau beberapa kali garis hidupnya berbelok karena sosok karismatik itu.” Dulu, Hoegeng pernah diangkat Soekarno menjadi menteri dalam Kabinet 100 Menteri, sebelum Hoegeng memutuskan tetap melanjutkan berkarier di kepolisian.
Hubungan dengan Soekarno tak seerat dengan Soeharto. Sejak awal pendirian Orde Baru, Hoegeng memiliki seribu harapan Soeharto bakal bisa menggerakkan Indonesia menjadi makmur, sejahtera, tenteram, dan harmoni. Harapan-harapan perlahan sirna. Pengangkatan Hoegeng sebagai Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia atau Kepala Polisi Negara, 15 Mei 1968, memberi amanah besar untuk turut mengurusi Indonesia. Sekarang, kita mengenali jabatan itu dengan sebutan Kapolri. Tugas-tugas besar dijalankan secara serius dan bertanggung jawab. Hoegeng membuktikan pengabdian tanpa pamrih-pamrih picisan: popularitas dan harta.
Yudhi Herwibowo mengajak pembaca menelisik tiga kasus besar dalam karier Hoegeng: kasus penculikan dan pemerkosaan Sum di Jogjakarta, peraturan pemakaian helm, dan penyelundupan mobil mewah. Hoegeng terus mendapat perlawanan dan gangguan. Indonesia memang negeri gamang: hukum ada tapi sulit diberlakukan. Hoegeng menginsafi hukum dipermainkan oleh pejabat. Situasi batin Hoegeng diceritakan berlatar pelbagai kasus. Kesabaran, ketegasan, keprihatinan, dan kesedihan Hoegeng dihadirkan dalam novel tanpa dramatisasi berlebihan. Pengarang justru selalu memberi penjelasan agak rinci agar pembaca bisa turut merasakan gejolak batin Hoegeng. Kemunculan tokoh istri, anak, wartawan, polisi, dan pejabat semakin menguatkan ketokohan Hoegeng. Sekian nama disamarkan oleh pengarang.
Keberakhiran karier Hoegeng di kepolisian memberi hikmah. Pengarang menulis kalimat elok: “Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya.” Hoegeng menjalani masa pensiun dengan melukis, menyanyi, dan siaran di radio. Situasi Indonesia terus diamati dan dikomentari. Hoegeng pernah mengucap sindiran saat bersiaran di radio Elshinta: “Zaman sekarang ini, banyak orang lupa dengan misi hidupnya sehingga hidup kebendaan lebih banyak menjadi tujuan. Mereka tidak ingat lagi anjuran Presiden Soeharto untuk hidup prasojo, hidup sederhana…” Sindiran ini berlaku bagi para pejabat, mengarah juga ke Cendana. Publik mulai mengetahui anak-anak Soeharto berlimpah harta, menjalankan bisnis dinaungi kekuasaan Soeharto.
Sikap kritis Hoegeng berlanjut sebagai penandatangan Petisi 50. Sikap politis ini membuat rezim Orde Baru memberi represi dan kesulitan. Hoegeng tak gentar. Kita terus memberi penghormatan atas keteladanan Hoegeng. Kita tak lupa berdoa bakal ada polisi-polisi jujur dan bertanggung jawab, melanjutkan kerja dan ambisi Hoegeng. Novel berjudul Halaman Terakhir membuat kita masih memiliki sepercik harapan saat Indonesia sedang tak keruan. Begitu.
 

BIODATA PENULIS
Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
Menulis di bandungmawardi.wordpress.com
Tlp. 085647121744      
Blulukan I, RT 2 RW 4, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah 57174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar