Minggu, 29 Maret 2015

Polisi dan Kejujuran Bernama Hoegeng, oleh Bandung Mawardi di Resensi Jawa Pos, 29 Maret 2015

 
Judul              : Halaman Terakhir
Penulis          : Yudhi Herwibowo
Penerbit        : Noura Books, Jakarta
Cetak              : 2015
Tebal              : 436 halaman
ISBN               : 978-602-7816-65-7
 
Sejak kecil, Hoegeng sudah mengimpikan jadi polisi. Tuhan mengabulkan doa dan ikhtiar Hoegeng.  Lelaki kelahiran di Pekalongan, 14 Oktober 1921, berhasil menjadi polisi teladan meski karier berakhir dengan kesedihan pada 2 Oktober 1971. Hoegeng memilih mengundurkan diri ketimbang menerima tawaran menjadi duta besar di Belgia. Di hadapan Soeharto, 6 September 1971, jenderal polisi bertubuh kurus itu berani memberi jawaban tegas untuk tak melanjutkan karier sebagai duta besar, beralasan ingin tetap berada di Indonesia. Jawaban mengandung misteri atas kebijakan Soeharto melakukan pergantian pucuk pimpinan kepolisian.
Hoegeng adalah nama tenar mengandung etos kerja keras, kejujuran, dan kebersahajaan. Hoegeng itu polisi idaman bagi keluarga, jajaran kepolisian, dan publik. Hoegeng saat melangkah pergi dari institusi tercinta mendapat hadiah hadiah wayang kulit: Brotoseno. Hoegeng memang mirip tokoh Brotoseno: jujur dan pantang kompromi (Leila S. Chudori, Tempo, 22 Agustus 1992). Hoegeng tetap menjalani hidup dengan pengharapan-pengaharapan agar kepolisiain menjadi institusi terhormat dan sanggup menegakkan hukum. Pengharapan itu terus dibuktikan sampai sekarang meski publik mulai ragu saat melihat kebijakan-kebijakan kepolisian cenderung abai amanat Hoegeng.
Ingatan-ingatan itu muncul kembali dalam novel garapan Yudhi Herwibowo. Sejak mula, pengarang sudah menjelaskan buku setebal 436 halaman ini fiksi tapi berdasarkan penggalan-penggalan fakta sejarah. Penggarapan novel memerlukan lacak referensi buku, koran, dan majalah. Pengarang juga melakukan wawancara dengan pihak keluarga dan para narasumber. Novel terbit pada saat kita memberi perhatian pada kisruh pelik di Indonesia. Setiap hari, berita-berita menegangkan sering muncul dari pihak kepolisian. Novel ini pantas jadi bekal reflektif mengandung ingatan sejarah untuk mengerti peran dan kebermaknaan polisi, dari masa ke masa. Polisi bernama Hoegeng bakal mengembalikan kita ke episode-episode silam.
Hoegeng melakukan pengabdian pada dua masa: Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa revolusi, Hoegeng sudah bertugas sebagai polisi. Hoegeng ingat pernah bertugas menjadi ajudan Soekarno saat berpidato di Jogjakarta, 17 Agustus 1947. Pidato menggugah, memberi sihir pada ribuan orang. Situasi berbeda dialami Hoegeng. Perut polisi kurus itu lapar. Hoegeng meninggalkan Soekarno, bergerak ke dapur untuk mencari makan. Di dapur, Hoegeng makan bersama mertua Soekarno. Ulah itu diketahui Soekarno tapi tak ada kemarahan.
Kedekatan Hoegeng dengan Soekarno diceritakan penuh empati. Pada saat menjabat pimpinan di kepolisian pada masa Orde Baru, Hoegeng menanggung sedih setelah mendengar kabar Soekarno wafat. Yudhi Herwibowo menceritakan: “Entahlah, saat itu, rasanya tak hanya tubuhnya yang lelah. Perasaannya pun seperti terguncang. Mungkin tak banyak yang tahu kedekatannya dengan presiden pertama negeri ini. Namun, ia selalu ingat kalau beberapa kali garis hidupnya berbelok karena sosok karismatik itu.” Dulu, Hoegeng pernah diangkat Soekarno menjadi menteri dalam Kabinet 100 Menteri, sebelum Hoegeng memutuskan tetap melanjutkan berkarier di kepolisian.
Hubungan dengan Soekarno tak seerat dengan Soeharto. Sejak awal pendirian Orde Baru, Hoegeng memiliki seribu harapan Soeharto bakal bisa menggerakkan Indonesia menjadi makmur, sejahtera, tenteram, dan harmoni. Harapan-harapan perlahan sirna. Pengangkatan Hoegeng sebagai Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia atau Kepala Polisi Negara, 15 Mei 1968, memberi amanah besar untuk turut mengurusi Indonesia. Sekarang, kita mengenali jabatan itu dengan sebutan Kapolri. Tugas-tugas besar dijalankan secara serius dan bertanggung jawab. Hoegeng membuktikan pengabdian tanpa pamrih-pamrih picisan: popularitas dan harta.
Yudhi Herwibowo mengajak pembaca menelisik tiga kasus besar dalam karier Hoegeng: kasus penculikan dan pemerkosaan Sum di Jogjakarta, peraturan pemakaian helm, dan penyelundupan mobil mewah. Hoegeng terus mendapat perlawanan dan gangguan. Indonesia memang negeri gamang: hukum ada tapi sulit diberlakukan. Hoegeng menginsafi hukum dipermainkan oleh pejabat. Situasi batin Hoegeng diceritakan berlatar pelbagai kasus. Kesabaran, ketegasan, keprihatinan, dan kesedihan Hoegeng dihadirkan dalam novel tanpa dramatisasi berlebihan. Pengarang justru selalu memberi penjelasan agak rinci agar pembaca bisa turut merasakan gejolak batin Hoegeng. Kemunculan tokoh istri, anak, wartawan, polisi, dan pejabat semakin menguatkan ketokohan Hoegeng. Sekian nama disamarkan oleh pengarang.
Keberakhiran karier Hoegeng di kepolisian memberi hikmah. Pengarang menulis kalimat elok: “Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya.” Hoegeng menjalani masa pensiun dengan melukis, menyanyi, dan siaran di radio. Situasi Indonesia terus diamati dan dikomentari. Hoegeng pernah mengucap sindiran saat bersiaran di radio Elshinta: “Zaman sekarang ini, banyak orang lupa dengan misi hidupnya sehingga hidup kebendaan lebih banyak menjadi tujuan. Mereka tidak ingat lagi anjuran Presiden Soeharto untuk hidup prasojo, hidup sederhana…” Sindiran ini berlaku bagi para pejabat, mengarah juga ke Cendana. Publik mulai mengetahui anak-anak Soeharto berlimpah harta, menjalankan bisnis dinaungi kekuasaan Soeharto.
Sikap kritis Hoegeng berlanjut sebagai penandatangan Petisi 50. Sikap politis ini membuat rezim Orde Baru memberi represi dan kesulitan. Hoegeng tak gentar. Kita terus memberi penghormatan atas keteladanan Hoegeng. Kita tak lupa berdoa bakal ada polisi-polisi jujur dan bertanggung jawab, melanjutkan kerja dan ambisi Hoegeng. Novel berjudul Halaman Terakhir membuat kita masih memiliki sepercik harapan saat Indonesia sedang tak keruan. Begitu.
 

BIODATA PENULIS
Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
Menulis di bandungmawardi.wordpress.com
Tlp. 085647121744      
Blulukan I, RT 2 RW 4, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah 57174

Selasa, 17 Maret 2015

Endorsement2 yang ada di cover Novel Halaman Terakhir

"Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."
—Gus Dur



“Jadi penting itu baik, tapi lebih penting jadi baik … “

—Hoegeng  



"Hoegeng adalah sebagian kecil pengecualian dalam sejarah republik ini. Figurnya menorehkan catatan emas betapa kesederhanaa, integritas, dan pengabdian tak berbatas menjadikan lembaga yang dipimpinnya dicintai dan berwibawa di mata masyarakat. Sebuah penuturan yang wajib dibaca pecinta Indonesia."
Hendi Jo, pecinta sejarah

 

Blurps Halaman Terakhir Sedikit Mengejutkan Saya

Orde Baru, suatu masa …
Hoegeng sedang diuji. Dua kasus besar mencuat, mencuri perhatiannya yang kala itu menjabat sebagai Kapolri. Dua kasus yang membuatnya terbentur tembok raksasa dan menguji integritasnya sebagai seorang polisi.

Kasus pertama adalah Sum Kuning. Kasus pemerkosaan yang menggegegerkan Kota Yogyakarta. Meski telah menggali amat dalam, selalu ada batu yang mengganjal usahanya menemukan pelaku. Berbagai gangguan mengalihkan penyidikan dari bukti dan fakta.

Kasus kedua adalah penyelundupan mobil mewah. Keterlibatan seorang putra pejabat tinggi di tanah air membuat kasus ini sulit menyentuh dasar masalahnya. Seolah para pelaku telah mengantisipasi langkah Hoegeng dan anak buahnya, semakin dalam penyelidikan, semakin bukti itu menghilang.

Kasus-kasus itu terus membayangi Hoegeng, membebani nuraninya. Mampukah Hoegeng, sang polisi jujur, menutup mata dan meninggalkan sesuatu yang telah dimulainya itu?

Halaman terakhir adalah sebuah drama perjalanan dua kasus terbesar yang pernah ditangani Hoegeng.


Tulisan di atas adalah blurps yang ada di cover belakang novel Halaman Terakhir. Cukup mengejutkan juga, sebenarnya di dalam novel itu saya tak sekali pun menyebut tentang Sum Kuning dan Robby Cahyadi. Nama-nama mereka, dan orang-orang yang terkait di sekitar4 mereka juga saya ganti. Saya berpikir pembaca pasti tahu sendiri, tanpa perlu saya sebutkan. Karena ini adalah novel, sudah banyak imajinasi saya masuk ke dalam tokoh-tokoh itu. Jadi tak adil bila saya tetap memakai nama-nama asli itu. Anggap saja itu adalah karakter fiksi.

Tapi ini mungkin pertimbangan dari marketing. Saya menerima saja.

Beberapa Berita dari Koran-koran tahun 70an

Sebenarnya saat pencarian data-data novel ini di Perpusda Yogyakarta dan Monumen Pers Solo, saya diuntungkan karena di Perpusda saya boleh memotretnya kapan saja. Sehingga saya merasa cukup komplet menemukan data-datanya.
Yang lebih mengherankan, saya merasa sebelum saya, ada orang lain yang juga sedang mencari bahan2 tentang Sum Kuning, sehingga setiap berita diberi tanda centang dengan bolpen merah. Ini walau membuat saya jengkel, tapi sedikit membantu  saya juga mendapatkan berita yang saya cari.




Saya berpikir apa sebaiknya saya buka saja data-data itu dipublik? agar siapa pun bisa membacanya. Tapi itu tentu baru wacana...

Demi Kebenaran



Menulis novel dari kisah hidup seseorang ternyata tak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Apalagi bila tokoh yang kita angkat sudah tak lagi ada. Sebenarnya saya sempat merasa senang karena buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan tulisan Abrar Yusra dan Ramadhan KH, yang diterbitkan Sinar Harapan tahun 1993, saya nilai cukup lengkap. Juga buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa yang ditulis oleh Ari Santoso, Eri Sutrisno, Hasudungan Sirait, Imran Hasibuan, yang diterbitkan Bentang tahun 2009.

Namun setelah proses penulisan, saya merasa terjebak di situ.

Terutama di buku yang pertama saya sebutkan. Harus saya akui saya banyak sekali mengambil kisah-kisah Hoegeng dari buku itu. Terutama kisah-kisah semasa muda Hoegeng. Mulai dari saat ia beranjak dewasa, bersekolah, si masa awal menjadi polisi dan saat pergi ke Amerika, saya berpatokan sekali pada buku itu. Bahkan percakapan-percakapan dengan tokoh-tokoh penting yang ada, saya petik dan hanya sedikit saja saya ubah. Seertinya saya hanya menghaluskan bahasanya dengan gaya bicara saat ini. Di satu sisi saya tak berani mengubahnya karena itu adalah autobiografi, namun di sisi ada sedikit ketakutan bila tak saya dicap sebagai plagiat… :(
 
Misalnya saat percakapan Hoegeng dengan Presiden Soekarno di kala pertemuan pertama keduanya, percakapan Hoegeng dengan Jendral Panggabean, bahkan percakapan Hoegeng dengan gurunya di masa Jepang.  Pada intinya, seperti itulah percakapan berlangsung. Walau sudah saya ubah, tetap seperti itulah isi percakapannya.

Saya juga mengambil banyak data-data tahun 70an entah itu dari buku-buku, koran, majalah, dan juga internet. Kisah tentang Monas, sejarah Badan Intelegen Negara, keadaan tahun 70an, lirik-lirik lagu, dll. Ini juga merupakan sumber-sumber yang saya pakai. 

Beberapa kawan dosen dan editor, tidak mempermasalahkan itu asal saya menulis sumber pustakanya. Tapi menulis novel adalah proses panjang. Kelalaian menulis sumber-sumber pustaka itu tetap terbuka. Maka itu, saat buku ini akan terbit, ada sedikit ketidaktenangan dalam diri saya, kalau kelak ada hal-hal yang dipermasalahkan pembaca. 

Semoga semuanya bisa berjalan lancar.

Review Halaman Terakhir oleh Truly Rudiono di Blog Reviewku

Penulis: Yudhi Herwibowo Penyunting: Miranda Harlan Penyelaras aksara: Nunung Wiyati, Sittah Khusnul Khotimah Penata aksara: abd. Wahab, Alfiyan Rajendra Desain sampul: AAA ISBN: 9786027816657
Halaman: 448
Cetakan: Pertama-February 2015
Penerbit: Noura Book Publising
Harga: Rp 74.000

Eyang kakung
Musik Hawaii
Visa ke Amerika

Tiga kata tersebut melintas dalam benak saya ketika sang maestro, Mas Yudhi berkisah tentang misi menulis selanjutnya. Sosok Jenderal Polisi Hoegeng yang terkenal jujur sudah mencuri hatinya hingga membuahkan keinginan untuk menulis tentang beliau.

Eyang saya merupakan seorang pensiunan polisi dengan pangkat lumayan. Beberapa kali saya berkesempatan menemani kedua eyang menghadiri pertemuan pensiuan polisi. Mungkin  saya pernah bertemu dengan Hoegeng tanpa saya sadari. Setiap ada kisah tentang sosok polisi pasti pikiran saya akan terseret pada kenangan  sosok  eyang.

Saya lupa hari apa tepatnya, tapi yang saya ingat jika  lagu ala Hawaii berkumandang di televisi artinya sudah waktunya jam tayang Hawaiian seniors. Bagi saya itu merupakan saat yang menyedihkan, karena menandakan film kartun habis. Hiksss, maklum dulu hanya ada satu stasiun televisi.

Selama saya mengenal sosok penulis, baru  buku  Pearl of China yang saya tahu sukses membuar air matanya mengalir tanpa malu. Ternyata tanyangan Kick Andy episode tentang sosok Hoegeng dimana salah satu narasumber adalah istrinya, Merianti Roeslani juga mampu membuat seorang Yudhi berurai air mata haru. Kisah bagaimana berulang kali permohonan visa beliau ditolak sungguh mengharukan. Apalagi tujuannya adalah menuju Hawaii untuk bertemu dengan sahabat lama Mukiana. Beberapa saat kemudian ada episode tentang visa tersebut lagi, tapi kali ini berita gembira. Syukurlah.

Seperti penulis, saya juga ikut merasakan haru saat melihat tayangan tersebut. Apalagi beberapa saat kemudian, tante saya berkisah tentang kondisi keluarga Hoegeng pada saat pertemuan keluarga bulanan. Saya tidak memahami secara jelas apa yang para saudara mama saya bahas, tapi yang saya pahami betapa mengharukan kehidupan mereka. Betapa bertolak belakang dengan kondisi pensiunan polisi berbintang empat lainnya.Saya bersyukur kondisi keluarga saya bisa lebih baik dari mereka.

Semula hanya diskusi ringan sambil makan ketika saya berada di Solo. Akhirnya sebuah draft berjudul Panggil Aku Hoegeng mendarat dengan manis di kamar saya. Kisahnya tentang dua kasus terakhir yang diselidiki oleh Hoegeng sebelum posisinya digantikan  tanpa menunggu habis masa jabatan.  Belakangan sebuah buntelan mendarat dari penerbit. Buku tersebut sudah jadi dengan perubahan judul menjadi  Halaman Terakhir . Pada karena buku ini memang terinspirasi 2 kisah terakhir Hoegeng, sebelum dirinya dicopot oleh Presiden Soeharto. Kasus tersebut adalah  Pemerkosaan Sum Kuning dan Penyelundupan Mobil Robby Cahyadi

Demi Allah, saya memang di-pusra di mobil!
Kalimat itu membuat saya, sesama perempuan, bisa merasakan kepedihan yang dirasakan oleh sosok Sumariyah. Sebagai gadis berusia sekitar 16 tahun berkulit sawo matang, yang dia tahu bahwa harga dirinya sudah terkoyak. Dan bukannya mendapat bantuan atas pengaduannya, ia justru ditahan atas tuduhan membuat laporan palsu. Sungguh mengenaskan nasibnya. 

Sum sedang  berjalan kaki sambil menunggu kendaraan umum ke arah rumahnya ketika sebuah mobil kombi berwarna merah menjajari langkahnya. Awalnya seorang pria berambut gondrong memaksa untuk mengantarnya. Tawaran tersebut ditolak halus Sum, bukannya berlalu justru muncul sosok lain dari tengah dan menari tangan Sum. Dan perbuatan bejat itu terjadi. Andai Sum mengikuti perasaan hatinya yang tidak enak untuk pergi dan membiarkan saja soal persediaan tekur dagangannya yang habis, atau tetap pergi namun mengikuti  saran  seorang kenek bus kenalannya untuk tetap menunggu kendaraan bukannya berjalan ke arah timur, mungkinkah kejadian tersebut bisa dihindari? Entah.

Kisah yang mengenaskan itu ditulis dengan bahasa sederhana  tapi membuat emosi pembaca tercabik-cabik.  Justru kaliamt sederhana tersebut yang membuat pembaca bisa merasakan bagaimana ketakutan dan penderitaan Sum. Dimulai dengan uraian bagaimana Sum berjualan, memutuskan untuk pulang, menunggu kendaraan, bertemu dengan mobil kombi merah, bagaimana peristiwa itu terjadi hingga dicampakkan bagaikan sampah. Kisah mengharu-biru tersebut bisa dibaca di halaman 11-15.

Seorang wartawan menulis tentang peristiwa Sum. Yogyakarta menjadi geger. Pihak berwajib  justru menjemput Sum dan menyuruhnya mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum kian tak berdaya ketika dituduh menjadi anggota Gerwani. 

Bukannya mencari empat orang yang disebut sum sebagai pemerkosa, seorang tukang bakso yang melapor pernah melihat kombi merah disekitar lokasi beberapa jam sebelum peristiwa justru dijadikan tersangka. Apalagi sudah bukan rahasia umum jika Trimo, si tukang bakso menaruh hati pada Sum.


Untunglah Hakim Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta Ny Lamjiah Moeljarto. Dengan berani Lamjiah membebaskan Sum dari tuntutan jaksa. Tak ada bukti Sum membuat kesaksian palsu. Hakim juga membeberkan semua penderitaan Sum selama ditahan polisi. Mulai dari tidak diberi makan, diancam dipenjara, bahkan akan disetrum. Begitu juga dengan Trimo yang disiksa dengan dipilin jari-jari tangannya. Mengacu pada  vonis berani hakim itu, Kapolri Jenderal Hoegeng memanggil pejabat polisi Yogyakarta. Dandin 096 Yogyakarta Indrajoto diperiksa dan dicopot dari jabatannya. Hoegeng mengancam akan menyeret anak-anak pejabat yang memperkosa Sum. 

Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa. Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib? Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.

Mengenai bagaimana Hoegeng menangani kedua kasus tersebut sepertinya sudah sering dibahas. Tapi buku ini juga memberikan gambaran bahwa bagaimana juga Hoegeng adalah seorang manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Misalnya tentang bagaimana sakit hatinya Hoegeng ketika dilarang menghadiri upacara  Bhayangkara, lalu bagaimana rasa bahagia dan haru menyelimuti tidak saja Hoegeng namun seluruh keluarganya, ketika Kapolri yang baru berkunjung dan mengundang Hoegeng untuk datang pada upacara Bhayangkara lagi. Binar-binar bahagia terlihat jelas di mata Hoegeng saat menjalani pengukuran untuk pembuatan pakaian oleh tukang jahit yang dikirim. Hal ini menunjukan betapa berartinya peristiwa itu, keinginan yang terpendam sudah terlaksana. 

Kisah mengenai bagaiman kerasnya Hoegeng memegang prinsip juga diuraikan dalam buku ini. Melalui kisah bagaimana Hoegeng harus menggunakan kendaraan umum saat mencari rumah kontrakan baru karena ia harus segera meninggalkan rumah dinas begitu masa jabatan selesai menunjukan betapa keras kehidupan seorang Hoegeng. Jika mau ia bisa saja meminjam namun ia lebih suka tidak merepotkan orang.

Saya lebih menyukai judul Panggil Aku Hoegeng. Menunjukan ketegaran, keberanian dan pemegang prinsip kehidupan. Terkesan lebih macho saja buat saya. Pengucapannya juga terdengar mantap di telinga. Pembaca langsung bisa mengira apa isi buku ini. Tapi meski begitu judul yang dipilih sudah bisa mewakili isi buku.


Hoegeng juga tak gentar merintis pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Tudingan masyarakat bahwa hal ini dilakukan karena ada hubungan antara dirinya dengan salah satu perusahaan helm ditampiknya kuat-kuat. Semuanya demi keamanan pengendara semata. Dewasa ini peraturan terebut kembali ditegakkan. Hal ini menunjukan bahwa Hoegeng adalah orang yang memiliki pandangan jauh ke depan.

Sadar akan kemampuannya yang kurang untuk bertugas menjadi duta besar, Hoegeng memilih mundur dari pada harus bertugas meski resikonya ia harus kehilangan jabatan. Sikap profesionalisme tersebut membuat Hoegeng selalu menuntaskan setiap perkara yang ditanganinya dengan seksama, Segala daya dan upaya dikerahkan demi mendapatkan hasil terbaik, kasus terpecahkan dengan baik.

Kejujuran seorang Hoegeng bahkan menjadi hal yang mendapat perhatian khusus dari Gus Dur, "... Hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng."  Begitu jujurnya Hoegeng segera mengembalikan isi rumah begitu masa jabatannya selesai. tak ada keinginan untuk menguasainya. Kisah tentang kejujuran seorang Hoegeng  juga bisa kita temui dalam tulisan di http://www.imigrasi.go.id, ada 6 hal yang menggambarkan kejujuran Hoegeng, yaitu
1. Larang istri buka toko bunga
2. Tolak rayuan pengusaha cantik
3. Mengatur lalu lintas di perempatan
4. Berantas semua beking kejahatan
5. Hoegeng dan pemerkosaan Sum Kuning
6. Selalu berpesan polisi jangan sampai dibeli

Buku ini tidak saja membuat pembaca  mendapat informasi kembali tentang dua kasus yang cukup melegenda dahulu, tapi juga membaca biografi Hoegeng dengan cara yang berbeda. Prinsip hidup, sepak terjang menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan serta bagaimana Hoegeng menjalai kehidupan dipaparkan dengan cara yang unik. Pembaca bisa mengambil hikmah dan pelajaran tanpa dipaksa dan kesan menggurui.

Kover dengan mengusung tema mesin ketik dan mempergunakan huruf seperti hasil ketikan membuat saya bertanya-tanya. Kenapa ya? Apa karena isinya juga menyangkut tentang peran serta media melalui wartawan yang membuat kedua kasus tersebut menjadi terkenal di masyarakat. Atau untuk perlambang tentang pembahasan kasus dari masa lalu. Bisa juga tujuannya agar unik saja.

Sebagai selingan, selain mendapat gambaran tentang kehidupan sosial bermasyrakat saat itu, ada kisah percintaan dua orang polisi muda anak buah Hoegeng. Sayangnya penulis kurang mengeksploitasi bagian ini. Tentunya bisa menjadi hal yang menyebarkan bagi buku ini.

Tak ketinggalan tentunya tentang musik. Kecintaan Hoegeng pada musik terlihat dalam buku ini. Beberapa bagian dikisahkan Hoegeng sedang menikmati musik, bagian lagi tentang kegiatan bermusik, bahkan ada tentang bagaimana mula Hawaiian Senior terbentuk. Inspiratif.

Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem. Lahir do Pekalongan Jawa Tengah, 14 Oktober 1921, merupakan salah satu tokoh kepolisin di tanah air yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia ke-5 yang bertugas tahun 1968-1971. Hoegeng juga salah satu penanadatangan Petisi 50. Beliau menutup mata pada 14 Juli 2004 pada usia 82 tahun.




Sejumlah tanda jasa telah diterima oleh Hoegeng Imam Santoso atas semua pengabdiannya kepada negara,  

  • Bintang Gerilya
  • Bintang Dharma
  • Bintang Bhayangkara I
  • Bintang Kartika Eka Paksi I
  • Bintang Jalasena I
  • Bintang Swa Buana Paksa I
  • Satya Lencana Sapta Marga
  • Satya Lencana Perang Kemerdekaan (I dan II)
  • Satya Lencana Peringatan Kemerdekaan
  • Satya Lencana Prasetya Pancawarsa
  • Satya Lencana Dasa Warsa
  • Satya Lencana GOM I
  • Satya Lencana Yana Utama
  • Satya Lencana Penegak
  • Satya Lencana Ksatria Tamtama
Sebuah kata Hoegeng yang pantas selalu kita ingat, 

"Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik." 
Semoga kelak, akan bermunculan  Hoegeng-Hoegeng lagi, bermunculan orang-orang baik di tanah air.

Jika ada yang ingin mengetahui tentang proses penulisan buku ini serta hal lain tentang penulis, silahkan mengunjungi http://novelhalamanterakhir@blogspot.com

Sumber gambar:
http://adilesmana.com/?p=173

------------------------------
 
Seperti yang saya sebut di atas.
Membahas buku tentang Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso membuat saya teringat akan sosok Eyang kakung dari pihak mama saya. Semula beliau adalah guru, namun karena menolak memberi hormat pada bendera Belanda kala itu maka beliau diberhentikan. Garis nasib membuat eyang menjadi polisi.

tanda sadar saya melirik buku peringatan 40 hari meninggal beliau yang ada di rak buku saya. Sebuah coretan yang harus saya buat dalam waktu singkat sebagai perwakilan cucu ada di sana. Saya kutip di bawah. Sekedar sebagai obat rindu. 


Dari para cucu kagem Eyang kakung 
yang paling kami kasihi



Seakan waktu baru saja berlalu

Saat poro wayah saling memamerkan dengan bangsa

Sepaket coklat yang didapat selesai joget atau karawitan

Saat acara Halal Bhihalal Trah Atmosuhartan



Sekana belum lama berselang

Poro wayah menelepon Eyang untuk berkata

Matur Nuwun untuk kiriman uang jajan bulanan

Atau untuk kiriman oleh-oleh setiap habis keluar kota atau keluar negeri



Seakan baru kemarin

Poro wayah sering dibuat pakewuh, tidak enak hati

Ketika Eyang dengan bangga bercerita mengenai poro wayah

Entah sekedar kenakalan. Keberhasilan sekolah,

Keberhasilan menjuarai suatu kegiatan, atau bahkan memamerkan

Sekedar kiriman tanda ingat dari cucu-cucu



Seakan baru  sesaat lewat

Poro wayah menhadap untuk nyuwun pangestu

Atas keinginan untuk membina keluarga sendiri

Dengan berkaca pada hubungan harmonis Eyang Kakung dan Eyang Putri



Kadang kala,

Kami melihat sepaket coklat

Seperti dulu yang pernah diparingi Eyang

Tapi rasanya tidak semanis coklat yang dulu

Karena yang dulu diparingi Eyang dengan kasih sayang

Cinta tulus bercampur dengan kebanggaan



Hampir seluruh foto yang ada posisinya selalu saja

Eyang kakung memeluk Eyang putri, berusaha melindungi

Hampir setiap detik kehidupan yang dilewati bersama

Eyang kakung selalu lebih memikirkan Eyang putri

Bahkan terucap niat jika agar kalau diizinkan Allah 

Lebih baik Eyang putri dulu yang tindak

Dengan keinginan untuk menjaga sampai detik terakhir

Tetapi Tuhan berkehendak lain Eyang kakung

telah pergi terlebih dahulu menghadap yang kuasa

Sugeng tindak Eyang kakung
Untuk semua cinta kasih yang pernah ada
Jarak Solo-Jakarta yang ditempuh poro wayah
Untuk mengiringi ke tempat peristirahat terakhir
Tidaklah berarti banyak
We always love you!

http://trulyrudiono.blogspot.com/2015/03/2015-31-halaman-terakhir.html