(klik untuk memperbesar)
Halaman Terakhir
sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Senin, 09 November 2015
Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 2)
Mas Bamby juga merasa bagian menuju ending novel Halaman Terakhir terlalu datar. Hal ini juga dirasakan oleh Mbak Silvia. Saya tentu bisa memahami keadaan itu. Saat merancang ending Halaman Terakhir saya juga merasakan hal yang sama, walau saya berusaha menutupinya. Walau bagaimana pun novel ini tetap harus saya posisikan sebagai novel biografi, di mana tokoh utama –Hoegeng- harus diceritakan sejak awal kelahirannya hingga di saat terakhirnya. Tentu ini tidak mudah. Puncak permasalah Hoegeng ada di tahun 1970 –saat 2 kasus yang saya tulis berlangsung. Ada jeda yang cukup lama sejak saat itu hingga kematiannya, sehingga perasaan pembaca setelah pemecatan Hoegeng hingga seterusnya memang cenderung menurun.
Mbak Silvia juga
menyoroti kalau ia merasa karakter Djaba Kresna menjadi karakter paling kuat
dalam Halaman Terakhir, mengalahkan karakter Hoegeng. Pendapatnya tentu tak
salah. Karena saya memang mengeksplorasi karakter itu sungguh-sungguh. Namun sebenarnya
saya sudah mempresentasikan masing-masing karakter dalam Halaman Terakhir. Ada 3 karakter paling kuat di situ: Hoegeng, Djaba
Kresna, dan Sumaryah, dan karakter Hoegeng tetaplah menjadi karakter paling
dominan di Halaman Terakhir
berdasarkan prosentase.
Peserta
lainnya, Mbak Vina, mempertanyakan keheranannya kenapa sebagai Kaapolri Hoegeng
tak bisa mengurus dengan cepat kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Ia
terkesan kalah dengan Kadapol (sekarang Kapolda) Yogyakarta saat itu. Tentu
jangankan Mbak Vina, saya sendiri saat meruntut kasus itu dari Koran Mertju Suar dan Minggu Pagi, cukup gemas dengan keadaan saat itu. Namun perlu
dipahami kalau kasus itu melibatkan banyak orang-orang penting. Di masa itu
gesekan antara polisi dan TNI begitu kuatnya, sehingga Hoegeng tidaklah mudah
menuntaskannya
Catatan
paling banyak diberikan oleh Pak Soedharto. Beliau telah membuat catatan
berlembar-lembar dengan tulisan tangannya. Beberapa catatannya yang harus saya
akui merupakan tambahan data yang penting
adalah: sebutan bagi Presiden Soekarno. Di Halaman
Terakhir saya hanya menyebutnya dengan 3 gelar, namun seharusnya saya
menyebutkannya dengan 5 gelar.
Kemudian
perihal kedatangan Hoegeng di Cendana, di mana ia melihat mobil Soni Cahaya
terparkir di sana, Pak Soedharto menegaskan pada saya bahwa Hoegeng memang
melihat Robby Cahyadi di situ. Sebenarnya dalam wawancara saya dengan Mas
Aditya –putra Pak Hoegeng- saya juga mendapat cerita itu. Namun setelah saya
tinjau berbagai data, saya tak menemukan data valid tentang itu. Sehingga saya
kemudian hanya melukiskan kisah Hoegeng melihat mobil si pelaku. Saya pikir,
ini semacam pancingan imajinasi bagi pembaca apa yang sebenarnya terjadi di
sana.
Catatan lain
dari Pak Soedharto yang membuat saya sedikit berdebat adalah tentang rumah
dinas Hoegeng. Pak Soedharto mengutarakan Hoegeng tak tinggal di rumah dinas, ia
mengontrak rumah. Namun saya mendapat data dari buku Ramadhan KH, kalau Hoegeng
tinggal di rumah dinas sekian lama. Itu adalah rumah dinas yang harus
ditinggalkannya setelah dicopot sebagai kalpolri.
Sebenarnya
ada beberapa pertanyaan, tanggapan dan kritik lainnya dari pembaca seperti dari
Mas Aan, Mas Vicky, Mbak Hera, Mbak Vina, Nikotopia, dll. Namun ingatan saya
terlalu buruk untuk mengingatnya dengan detil. Maafkan saya… :(
foto2 dijepret oleh nikotopia
Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 1)
Sekitar 5
tahun yang lalu, kumcer saya, Mata Air
Air Mata Kumari, di-OPMI-kan oleh Media Indonesia. Ini adalah inisiatif
teman-teman goodreads saat itu, Mbak Truly Rudiono, Mbak Melodie Violane, dll. Waktu
itu saya tak bisa hadir di acara itu, sehingga hanya bisa membaca review-nya di
koran Media Indonesia. Senang sekali rasanya buku saya dibahas dalam 1 halaman penuh.
Tahun ini, di
bulan Oktober, buku saya Halaman Terakhir,
Sebuah Novel Tentang Jenderal Polisi Hoegeng kembali
di-OPMI-kan. Saya langsung meyakinkan diri untuk datang di acara itu, sewaktu Penerbit
Noura menghubungi saya.
Saya berangkat
di Jumat malam dan tiba di Gambir menjelang Shubuh. Mas Mun –sopir Penerbit Noura-
menjemput saya dalam keadaan masih mengantuk. Saya sedikit merasa gak enak.
Tapi di perjalanan, kami banyak mengobrol. Saya jadi tahu, ternyata kawan-kawan
Noura yang dulu memroses buku saya, sebagian sudah tak lagi ada di Noura.
Sampai di
Noura saya berencana tidur. Saat di kereta, saya memang tak bisa tidur karena
lamu kereta yang terlalu silau. Namun hanya 2 jam saya tidur, karena walau hari
itu hari libur, ternyata ada tukang yang sedang membetulkan kamar mandi Noura.
Menjeang jam
10.00, Mbak Truly Rudiono datang. Kami membeli beberapa buku di toko buku Noura,
yang merupakan titipan kawan-kawan saya di Solo.
Setelah Mbak
Ani dan Mbak Seruni –tim promo Noura- datang, kami berangkat pukul 12.00 dengan
asumsi harus mencadi tempatnya lebih dahulu di PX Pavillion, Kebayoran. Tenyata
kami datang terlalu gasik, sehingga harus berjalan-jalan dulu dan menunggu di Café Crematology, tempat diskusi akan
berlangsung.
Menjelang pukul
15.00, kawan-kawan dari Media Indonesia mulai berdatangan. Mbak Hera, Mas
Wahyu, Mas Yoyok, dll. Beberapa tamu juga datang. Nikotopia, kawan semenjak di
Solo, sudah datang paling awal, disusul
Andhika. Keduanya penulis skenario yang sedang menggarap Kelas Internasional di NET TV. Raafi -yang baru beberapa hari lalu bertemu dengan saya di Solo- juga datang.
Satu mengejutkan
adalah kehadiran mas Bamby Cahyadi cerpenis, penulis 3 kumcer –yang terbaru Gadis Lolipop. Sebelumnya, kami memang
hanya mengenalnya di fb, sehingga cukup kaget juga ia berkenan datang. Apalagi ia
sama sekali tak berkabar akan datang, sehingga ketika masuk di pintu café, saya
setengan memandang tak percaya.
Yang paling
mengejutkan adalah kehadiran Bapak Soedharto, penulis buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Beliau adalah mantan
sekretaris Bapak Hoegeng. Jujur saja, ini sebenarnya sedikit membuat saya keder...
:-P
Diskusi
Selama
diskusi, Mas Wahyu menjadi moderatornya. Setiap peserta berhak mengutarakan
pendapat, kritik atau apa un itu. Tentu karena semua peserta sudah mendapat
buku, yang dikirim sekitar 10 hari sebelumnya, hampir semuanya ingin memberi tanggapan.
Beberapa yang saya ingat adalah:
Mas Bamby mengawali
pertanyaan dengan karakter-karakter dalam Halaman
Terakhir. Ia menanyakan karakter fiksi dan karakter yang sebenarnya, dan
kenapa ada karakter yang seperti hilang begitu saja di kelanjutan novel? Tentu
karena ini sebuah novel, dapat dikatakan imajinasi berperan sekali. Walau
begitu beberapa karakter memang merupakan karakter sebenarnya yang saya olah
sedemikian rupa. Karakter Djaba Kresna sangat dekat dengan karakter
Djabaruddin, yang merupakan penulis berita pertama tentang kasus pemerkosaan
yang menggegerkan itu. Karena tak ingin mengorek luka lama, beberapa karakter
memang harus diganti namanya. Namun saya tetap mempertahankan inisialnya. (bersambung)
foto2 dijepret oleh nikotopia
Selasa, 03 November 2015
Review: Halaman Terakhir by Yudhi Herwibowo - Tiwi's Blog (http://tiw-uwi.blogspot.co.id)
Finally! I just finished reading a book titled "Halaman Terakhir" by Yudhi Herwibowo. The story is about Hoegeng's, Chief of Indonesian National Police, last days of service.
Hoegeng
was born in Pekalongan, Central Java. His full name was Hoegeng Iman
Santoso. But, he was always known by Hoegeng. After finished Senior High
School, he decided to study Law in Jakarta, but then he moved to
Yogyakarta for Police Course. That was when he started his police
career. Yes, being a policeman was always his dream since teenager.
According to the news and investigation written and done alone by Djaba Kresna, the red Kombi belonged to a dentist whose car was borrowed by his son-in-law on the accident day. His son-in-law known to have face like an Arabian and was the son of an army general. He also known to have three close friends and it was possible on that day they were together.
The case twisted as the investigation continued. The results reported to Hoegeng by Yogyakarta Police Department way different. So, he asked his subordinates to go to Yogyakarta and do their own investigation. They came back to Jakarta with a good report about the investigation. But, sadly, suddenly the case was diverted by the president to be finished by other institution.
The second one was about luxurious car smuggling done by Soni Cahaya and his two brothers. After doing some investigation, Hoegeng's subordinates successully caught them and brought them to the prisoner. But, not so long after that, they were freed with warranty from unknown person.
There were rumours about the smugglers' closeness to president's family. Journalists kept asking Hoegeng about this, but he always answered that the investigation should be done first before came out with the conclusion. One day, when Hoegeng and his subordinates came to president's residence, he saw a luxurious black car that was belong to Soni Cahaya. He felt that it confirmed about the rumour. He changed his mind and went back home with a broken heart.
Not so long after that, a letter from president came. He was no longer the Chief of Indonesian National Police, he was then an Ambassador for Belgium Kingdom. He refused to be an ambassador and chose to retire instead.
...
I heard about Hoegeng some time ago. My dad said he was the best policeman in Indonesia. He was not like any other policeman. He was honest, firm, and modest. And it was all captured well in this book.
The book gave the image of Orde Baru regime which was known for its dictatorship. Bans, pemberedelan, was some kind of popular term in that era. It's what happened when you criticize government through the media. Collusion was also another Orde Baru's sin that was captured in this book.
Nowadays, rarely we found public officials as modest as Hoegeng. He lived simply with his own idealism. He was not wavered by the threat of losing his position, it was never important to him. I also believe, that was not because of himself alone, his wife and family who always supported him, made him that kind of person. Remember the words: behind every great man is a great woman. Luckily, he got a wife who was not only modest, but also unpretentious and trust on his man. That was a lot of support.
Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya - Hoegeng
http://tiw-uwi.blogspot.co.id/2015/04/review-halaman-terakhir-by-yudhi.html
Langganan:
Postingan (Atom)