Mas Bamby juga merasa bagian menuju ending novel Halaman Terakhir terlalu datar. Hal ini juga dirasakan oleh Mbak Silvia. Saya tentu bisa memahami keadaan itu. Saat merancang ending Halaman Terakhir saya juga merasakan hal yang sama, walau saya berusaha menutupinya. Walau bagaimana pun novel ini tetap harus saya posisikan sebagai novel biografi, di mana tokoh utama –Hoegeng- harus diceritakan sejak awal kelahirannya hingga di saat terakhirnya. Tentu ini tidak mudah. Puncak permasalah Hoegeng ada di tahun 1970 –saat 2 kasus yang saya tulis berlangsung. Ada jeda yang cukup lama sejak saat itu hingga kematiannya, sehingga perasaan pembaca setelah pemecatan Hoegeng hingga seterusnya memang cenderung menurun.
Mbak Silvia juga
menyoroti kalau ia merasa karakter Djaba Kresna menjadi karakter paling kuat
dalam Halaman Terakhir, mengalahkan karakter Hoegeng. Pendapatnya tentu tak
salah. Karena saya memang mengeksplorasi karakter itu sungguh-sungguh. Namun sebenarnya
saya sudah mempresentasikan masing-masing karakter dalam Halaman Terakhir. Ada 3 karakter paling kuat di situ: Hoegeng, Djaba
Kresna, dan Sumaryah, dan karakter Hoegeng tetaplah menjadi karakter paling
dominan di Halaman Terakhir
berdasarkan prosentase.
Peserta
lainnya, Mbak Vina, mempertanyakan keheranannya kenapa sebagai Kaapolri Hoegeng
tak bisa mengurus dengan cepat kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Ia
terkesan kalah dengan Kadapol (sekarang Kapolda) Yogyakarta saat itu. Tentu
jangankan Mbak Vina, saya sendiri saat meruntut kasus itu dari Koran Mertju Suar dan Minggu Pagi, cukup gemas dengan keadaan saat itu. Namun perlu
dipahami kalau kasus itu melibatkan banyak orang-orang penting. Di masa itu
gesekan antara polisi dan TNI begitu kuatnya, sehingga Hoegeng tidaklah mudah
menuntaskannya
Catatan
paling banyak diberikan oleh Pak Soedharto. Beliau telah membuat catatan
berlembar-lembar dengan tulisan tangannya. Beberapa catatannya yang harus saya
akui merupakan tambahan data yang penting
adalah: sebutan bagi Presiden Soekarno. Di Halaman
Terakhir saya hanya menyebutnya dengan 3 gelar, namun seharusnya saya
menyebutkannya dengan 5 gelar.
Kemudian
perihal kedatangan Hoegeng di Cendana, di mana ia melihat mobil Soni Cahaya
terparkir di sana, Pak Soedharto menegaskan pada saya bahwa Hoegeng memang
melihat Robby Cahyadi di situ. Sebenarnya dalam wawancara saya dengan Mas
Aditya –putra Pak Hoegeng- saya juga mendapat cerita itu. Namun setelah saya
tinjau berbagai data, saya tak menemukan data valid tentang itu. Sehingga saya
kemudian hanya melukiskan kisah Hoegeng melihat mobil si pelaku. Saya pikir,
ini semacam pancingan imajinasi bagi pembaca apa yang sebenarnya terjadi di
sana.
Catatan lain
dari Pak Soedharto yang membuat saya sedikit berdebat adalah tentang rumah
dinas Hoegeng. Pak Soedharto mengutarakan Hoegeng tak tinggal di rumah dinas, ia
mengontrak rumah. Namun saya mendapat data dari buku Ramadhan KH, kalau Hoegeng
tinggal di rumah dinas sekian lama. Itu adalah rumah dinas yang harus
ditinggalkannya setelah dicopot sebagai kalpolri.
Sebenarnya
ada beberapa pertanyaan, tanggapan dan kritik lainnya dari pembaca seperti dari
Mas Aan, Mas Vicky, Mbak Hera, Mbak Vina, Nikotopia, dll. Namun ingatan saya
terlalu buruk untuk mengingatnya dengan detil. Maafkan saya… :(
foto2 dijepret oleh nikotopia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar