Judul Buku : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Halaman : 448
Penerbit : Noura Books
Jika penulis buku ini mengatakan di
pengantar-nya, ‘saya mungkin terlambat’, maka saya sebagai pembaca jelas
sudah terlambat. Jujur saja, saya baru mendengar nama seorang Hoegeng.
Tapi dua kisah utama di dalam buku ini, Sum Kuning dan Penyelundupan
Mobil Mewah, saya pernah mendengar dan mengetahuinya meski hanya
samar-samar.
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso,
menjabat sebagai Kepala Polisi Negara (sekarang disebut sebagai Kapolri)
pada awal masa Orde Baru. Kala itu, di Yogyakarta ada sebuah kasus
penculikan dan pemerkosaan seorang gadis penjual telur bernama Sumaryah.
Menurut keterangan korban, dia diculik dan diperkosa oleh empat orang
pria di dalam sebuah mobil Kombi berwarna merah. Masa itu tidak banyak
orang yang mempunyai kendaraan roda empat mewah, apalagi berwarna merah
yang mencolok. Dengan bantuan seorang wartawan, Djaba Kresna, kisah
Sumaryah mulai menjadi pusat perhatian.
Sayangnya, polisi di Yogyakarta menilai
laporan Sumaryah adalah palsu. Ketika Djaba Kresna menyelidiki kasus ini
lebih lanjut, ternyata ada salah satu pelakunya masih kerabat dekat
“orang penting” yang punya koneksi ke Kepolisian. Wajar saja, kasus ini
lantas dibelokkan. Namun jauh di Jakarta, Hoegeng merasakan ada yang
janggal dari cara bawahannya menyelesaikan kasus ini. Dia lantas
membentuk tim khusus untuk menyelidikinya.
Di saat yang hampir bersamaan, Hoegeng
juga sedang menangani kasus penyelundupan mobil mewah oleh seorang
broker bernama Soni Cahaya. Ketika polisi sudah berhasil melakukan
penyergapan dan menangkap Cahaya, ada pihak lain yang memberikan jaminan
kebebasannya. Hasil penyelidikan memaparkan fakta bahwa ada banyak
pejabat yang ikut terlibat dalam kasus ini, salah satunya adalah
keluarga Cendana.
Dua kasus yang tidak terselesaikan bagi
Hoegeng ada pada saat akhir masa jabatannya. Dua kasus yang (mungkin)
memegang andil datangnya surat khusus yang menyatakan jabatan Hoegeng
dialihkan menjadi Duta Besar Kerajaan Belgia. Seorang polisi jujur
semacam Hoegeng tidak serta merta menerima isi surat tersebut. Dia
memilih untuk keluar dari Kepolisian.
Membaca semibiografi Hoegeng di kala
pemberitaan mengenai adanya kisruh antara dua lembaga penegak hukum (KPK
dan Polri) membuat saya ingin sekali sosok Hoegeng ini kembali hadir di
dunia nyata. Beliau sendiri telah berpulang ke Yang Maha Kuasa pada
tahun 2004, setelah menjalani masa pensiun yang terkekang. Novel ini
membantu saya mengenal seorang sosok polisi jujur yang pernah mewarnai
perjalanan sejarah bangsa ini.
“Selesaikan saja tugasmu dengan kejujuran. Karena, kita masih bisa makan nasi dengan garam.”
Novel semibiografi ini tidak membosankan
bagi saya. Diwarnai kasus Sumaryah yang menyinggung masalah HAM bagi
kaum kecil membuat saya penasaran bagaimana akhir dari kasus ini.
Mungkin ada dari kalian yang pernah menonton film Perawan Desa,
sedikit mendapat gambaran dari kasus ini. Sum Kuning atau Sumaryah
dalam novel ini mewakili golongan rakyat kecil yang tidak bisa melawan
kekuasaan besar. Peran wartawan dalam kasus ini juga memberi andil dan
mewarnai gejolak kecil di awal Orde Baru. Namun seperti yang sudah kita
ketahui bersama, Orde Baru adalah masa dimana kekuasaan satu pihak bisa
membungkam satu negeri.
Saya sempat iseng bertanya pada suami
saya, sebelum membaca buku ini apakah dia tahu siapa Hoegeng. Ternyata
dia tahu…#ups. Saya merasa harus berterima kasih kepada penulis karena
telah menghadirkan novel ini. Seandainya novel ini tidak ada, mungkin
saya tidak akan mengenal siapa Hoegeng, seorang polisi jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar