(klik untuk memperbesar)
Senin, 09 November 2015
Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 2)
Mas Bamby juga merasa bagian menuju ending novel Halaman Terakhir terlalu datar. Hal ini juga dirasakan oleh Mbak Silvia. Saya tentu bisa memahami keadaan itu. Saat merancang ending Halaman Terakhir saya juga merasakan hal yang sama, walau saya berusaha menutupinya. Walau bagaimana pun novel ini tetap harus saya posisikan sebagai novel biografi, di mana tokoh utama –Hoegeng- harus diceritakan sejak awal kelahirannya hingga di saat terakhirnya. Tentu ini tidak mudah. Puncak permasalah Hoegeng ada di tahun 1970 –saat 2 kasus yang saya tulis berlangsung. Ada jeda yang cukup lama sejak saat itu hingga kematiannya, sehingga perasaan pembaca setelah pemecatan Hoegeng hingga seterusnya memang cenderung menurun.
Mbak Silvia juga
menyoroti kalau ia merasa karakter Djaba Kresna menjadi karakter paling kuat
dalam Halaman Terakhir, mengalahkan karakter Hoegeng. Pendapatnya tentu tak
salah. Karena saya memang mengeksplorasi karakter itu sungguh-sungguh. Namun sebenarnya
saya sudah mempresentasikan masing-masing karakter dalam Halaman Terakhir. Ada 3 karakter paling kuat di situ: Hoegeng, Djaba
Kresna, dan Sumaryah, dan karakter Hoegeng tetaplah menjadi karakter paling
dominan di Halaman Terakhir
berdasarkan prosentase.
Peserta
lainnya, Mbak Vina, mempertanyakan keheranannya kenapa sebagai Kaapolri Hoegeng
tak bisa mengurus dengan cepat kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Ia
terkesan kalah dengan Kadapol (sekarang Kapolda) Yogyakarta saat itu. Tentu
jangankan Mbak Vina, saya sendiri saat meruntut kasus itu dari Koran Mertju Suar dan Minggu Pagi, cukup gemas dengan keadaan saat itu. Namun perlu
dipahami kalau kasus itu melibatkan banyak orang-orang penting. Di masa itu
gesekan antara polisi dan TNI begitu kuatnya, sehingga Hoegeng tidaklah mudah
menuntaskannya
Catatan
paling banyak diberikan oleh Pak Soedharto. Beliau telah membuat catatan
berlembar-lembar dengan tulisan tangannya. Beberapa catatannya yang harus saya
akui merupakan tambahan data yang penting
adalah: sebutan bagi Presiden Soekarno. Di Halaman
Terakhir saya hanya menyebutnya dengan 3 gelar, namun seharusnya saya
menyebutkannya dengan 5 gelar.
Kemudian
perihal kedatangan Hoegeng di Cendana, di mana ia melihat mobil Soni Cahaya
terparkir di sana, Pak Soedharto menegaskan pada saya bahwa Hoegeng memang
melihat Robby Cahyadi di situ. Sebenarnya dalam wawancara saya dengan Mas
Aditya –putra Pak Hoegeng- saya juga mendapat cerita itu. Namun setelah saya
tinjau berbagai data, saya tak menemukan data valid tentang itu. Sehingga saya
kemudian hanya melukiskan kisah Hoegeng melihat mobil si pelaku. Saya pikir,
ini semacam pancingan imajinasi bagi pembaca apa yang sebenarnya terjadi di
sana.
Catatan lain
dari Pak Soedharto yang membuat saya sedikit berdebat adalah tentang rumah
dinas Hoegeng. Pak Soedharto mengutarakan Hoegeng tak tinggal di rumah dinas, ia
mengontrak rumah. Namun saya mendapat data dari buku Ramadhan KH, kalau Hoegeng
tinggal di rumah dinas sekian lama. Itu adalah rumah dinas yang harus
ditinggalkannya setelah dicopot sebagai kalpolri.
Sebenarnya
ada beberapa pertanyaan, tanggapan dan kritik lainnya dari pembaca seperti dari
Mas Aan, Mas Vicky, Mbak Hera, Mbak Vina, Nikotopia, dll. Namun ingatan saya
terlalu buruk untuk mengingatnya dengan detil. Maafkan saya… :(
foto2 dijepret oleh nikotopia
Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 1)
Sekitar 5
tahun yang lalu, kumcer saya, Mata Air
Air Mata Kumari, di-OPMI-kan oleh Media Indonesia. Ini adalah inisiatif
teman-teman goodreads saat itu, Mbak Truly Rudiono, Mbak Melodie Violane, dll. Waktu
itu saya tak bisa hadir di acara itu, sehingga hanya bisa membaca review-nya di
koran Media Indonesia. Senang sekali rasanya buku saya dibahas dalam 1 halaman penuh.
Tahun ini, di
bulan Oktober, buku saya Halaman Terakhir,
Sebuah Novel Tentang Jenderal Polisi Hoegeng kembali
di-OPMI-kan. Saya langsung meyakinkan diri untuk datang di acara itu, sewaktu Penerbit
Noura menghubungi saya.
Saya berangkat
di Jumat malam dan tiba di Gambir menjelang Shubuh. Mas Mun –sopir Penerbit Noura-
menjemput saya dalam keadaan masih mengantuk. Saya sedikit merasa gak enak.
Tapi di perjalanan, kami banyak mengobrol. Saya jadi tahu, ternyata kawan-kawan
Noura yang dulu memroses buku saya, sebagian sudah tak lagi ada di Noura.
Sampai di
Noura saya berencana tidur. Saat di kereta, saya memang tak bisa tidur karena
lamu kereta yang terlalu silau. Namun hanya 2 jam saya tidur, karena walau hari
itu hari libur, ternyata ada tukang yang sedang membetulkan kamar mandi Noura.
Menjeang jam
10.00, Mbak Truly Rudiono datang. Kami membeli beberapa buku di toko buku Noura,
yang merupakan titipan kawan-kawan saya di Solo.
Setelah Mbak
Ani dan Mbak Seruni –tim promo Noura- datang, kami berangkat pukul 12.00 dengan
asumsi harus mencadi tempatnya lebih dahulu di PX Pavillion, Kebayoran. Tenyata
kami datang terlalu gasik, sehingga harus berjalan-jalan dulu dan menunggu di Café Crematology, tempat diskusi akan
berlangsung.
Menjelang pukul
15.00, kawan-kawan dari Media Indonesia mulai berdatangan. Mbak Hera, Mas
Wahyu, Mas Yoyok, dll. Beberapa tamu juga datang. Nikotopia, kawan semenjak di
Solo, sudah datang paling awal, disusul
Andhika. Keduanya penulis skenario yang sedang menggarap Kelas Internasional di NET TV. Raafi -yang baru beberapa hari lalu bertemu dengan saya di Solo- juga datang.
Satu mengejutkan
adalah kehadiran mas Bamby Cahyadi cerpenis, penulis 3 kumcer –yang terbaru Gadis Lolipop. Sebelumnya, kami memang
hanya mengenalnya di fb, sehingga cukup kaget juga ia berkenan datang. Apalagi ia
sama sekali tak berkabar akan datang, sehingga ketika masuk di pintu café, saya
setengan memandang tak percaya.
Yang paling
mengejutkan adalah kehadiran Bapak Soedharto, penulis buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Beliau adalah mantan
sekretaris Bapak Hoegeng. Jujur saja, ini sebenarnya sedikit membuat saya keder...
:-P
Diskusi
Selama
diskusi, Mas Wahyu menjadi moderatornya. Setiap peserta berhak mengutarakan
pendapat, kritik atau apa un itu. Tentu karena semua peserta sudah mendapat
buku, yang dikirim sekitar 10 hari sebelumnya, hampir semuanya ingin memberi tanggapan.
Beberapa yang saya ingat adalah:
Mas Bamby mengawali
pertanyaan dengan karakter-karakter dalam Halaman
Terakhir. Ia menanyakan karakter fiksi dan karakter yang sebenarnya, dan
kenapa ada karakter yang seperti hilang begitu saja di kelanjutan novel? Tentu
karena ini sebuah novel, dapat dikatakan imajinasi berperan sekali. Walau
begitu beberapa karakter memang merupakan karakter sebenarnya yang saya olah
sedemikian rupa. Karakter Djaba Kresna sangat dekat dengan karakter
Djabaruddin, yang merupakan penulis berita pertama tentang kasus pemerkosaan
yang menggegerkan itu. Karena tak ingin mengorek luka lama, beberapa karakter
memang harus diganti namanya. Namun saya tetap mempertahankan inisialnya. (bersambung)
foto2 dijepret oleh nikotopia
Selasa, 03 November 2015
Review: Halaman Terakhir by Yudhi Herwibowo - Tiwi's Blog (http://tiw-uwi.blogspot.co.id)
Finally! I just finished reading a book titled "Halaman Terakhir" by Yudhi Herwibowo. The story is about Hoegeng's, Chief of Indonesian National Police, last days of service.
Hoegeng
was born in Pekalongan, Central Java. His full name was Hoegeng Iman
Santoso. But, he was always known by Hoegeng. After finished Senior High
School, he decided to study Law in Jakarta, but then he moved to
Yogyakarta for Police Course. That was when he started his police
career. Yes, being a policeman was always his dream since teenager.
According to the news and investigation written and done alone by Djaba Kresna, the red Kombi belonged to a dentist whose car was borrowed by his son-in-law on the accident day. His son-in-law known to have face like an Arabian and was the son of an army general. He also known to have three close friends and it was possible on that day they were together.
The case twisted as the investigation continued. The results reported to Hoegeng by Yogyakarta Police Department way different. So, he asked his subordinates to go to Yogyakarta and do their own investigation. They came back to Jakarta with a good report about the investigation. But, sadly, suddenly the case was diverted by the president to be finished by other institution.
The second one was about luxurious car smuggling done by Soni Cahaya and his two brothers. After doing some investigation, Hoegeng's subordinates successully caught them and brought them to the prisoner. But, not so long after that, they were freed with warranty from unknown person.
There were rumours about the smugglers' closeness to president's family. Journalists kept asking Hoegeng about this, but he always answered that the investigation should be done first before came out with the conclusion. One day, when Hoegeng and his subordinates came to president's residence, he saw a luxurious black car that was belong to Soni Cahaya. He felt that it confirmed about the rumour. He changed his mind and went back home with a broken heart.
Not so long after that, a letter from president came. He was no longer the Chief of Indonesian National Police, he was then an Ambassador for Belgium Kingdom. He refused to be an ambassador and chose to retire instead.
...
I heard about Hoegeng some time ago. My dad said he was the best policeman in Indonesia. He was not like any other policeman. He was honest, firm, and modest. And it was all captured well in this book.
The book gave the image of Orde Baru regime which was known for its dictatorship. Bans, pemberedelan, was some kind of popular term in that era. It's what happened when you criticize government through the media. Collusion was also another Orde Baru's sin that was captured in this book.
Nowadays, rarely we found public officials as modest as Hoegeng. He lived simply with his own idealism. He was not wavered by the threat of losing his position, it was never important to him. I also believe, that was not because of himself alone, his wife and family who always supported him, made him that kind of person. Remember the words: behind every great man is a great woman. Luckily, he got a wife who was not only modest, but also unpretentious and trust on his man. That was a lot of support.
Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya - Hoegeng
http://tiw-uwi.blogspot.co.id/2015/04/review-halaman-terakhir-by-yudhi.html
Halaman Terakhir: Kisah Pahit Jenderal Polisi Hoegeng, Review di Blog Syalala- (http://hereyougo-al.blogspot.co.id)
Judul: Halaman Terakhir
Pengarang: Yudhi Herwibowo
Tahun terbit: 2015
Penerbit: Noura Book
Jumlah halaman: 434
“Wat
kan men I het leven al niet bereiken, als men eer lijik is. Men kan bemind
geerd en gaacht worden…
Apa
yang tak bisa dicapai seseorang dalam kehidupan jika ia jujur? Orang bisa
dicintai, dimuliakan, dan dihormati. (Rosihan Anwar)”
Kutipan diatas pretty
much explains about this novel.
Novel historical-fiction ini
mengisahkan seorang jenderal polisi, yang hidup pada tahun 1970-an, yang
bernama Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Beliau adalah seorang jenderal polisi
yang dikenal jujur, adil, dan tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Sejak
diangkatnya Hoegeng menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia
pada Mei 1968, Hoegeng memegang kendali beberapa kasus yang terjadi kala itu;
bahkan beliau adalah orang pertama yang mengusulkan penggunaan helm bagi
pengendara motor!
Narasi dibawakan
dalam sudut pandang orang ketiga, di mana nama dari setiap karakter disebutkan.
Cerita yang dibawakan pun berubah-ubah sudut pandangnya, sehingga pembaca
mengetahui apa yang sedang terjadi lebih detail dari orang yabg berbeda-beda,
seperti pelaku kejahatan, seorang wartawan, korban, bawahan Jenderal Hoegeng,
dan Jenderal Hoegeng sendiri.
Novel Halaman Terakhir memfokuskan cerita pada dua kasus
besar yang terjadi pada masa jabatan Jenderal Hoegeng, yaitu kasus pemerkosaan
seorang gadis penjual telur yang bernama Sumaryah dan kasus penggelapan mobil
mewah. Dalam novel ini diceritakan hal apa saja yang terjadi, kronologi
kejadian, dan upaya apa yang dilakukan oleh kepolisian di bawah pimpinan
Jenderal Hoegeng untuk menyelesaikan kasus. Tapi tentu saja, selalu ada
permainan di belakang panggung yang tidak diketahui oleh Jenderal Hoegeng.
Seperti kutipan Rosihan Anwar yang disebutkan sebelumnya,
orang jujur tidak selalu mendapatkan kemuliaan dan kehormatan. Jenderal Hoegeng
mendapatkan berbagai macam kendala dalam usahanya menyelesaikan dua kasus
besar, bahkan ketika ia hampir menyelesaikan kasus ini. Dengan semangat dan
tekadnya yang kuat, ia terus mengabdi pada negara Indonesia, bahkan ketika ia
dicabut jabatannya oleh pemerintah.
Hidup sebagai orang jujur pada kala itu tidaklah mudah.
Novel ini secara tidak langsung menceritakan keadaan negara yang ada pada saat
itu, sesaat sebelum pemerintah mengambil alih media dan ketika hal itu terjadi.
Hidup Jenderal Hoegeng, sebagai anggota kepolisian yang bersih, juga tidak
mudah. Novel ini membuat saya sadar bahwa perjuangan tokoh-tokoh nasional tidak
berhenti setelah Indonesia merdeka.
Walaupun novel
ini merupakan sebuah cerita fiksi, pembaca, terutama saya, merasa mendapatkan
sedikit banyak pelajaran mengenai sejarang Indonesia. Sejujurnya, saya tidak
begitu menyukai novel historikal, tapi saya sangat menikmati membaca novel
Halaman Terakhir. Tidak selamanya belajar sejarah itu membosankan. Bahkan ada
sebuah komedi yang diselipkan sebagai bentuk kritik masyarakat terhadap apa
yang terjadi masa itu.
“Pak,
lapor. Saya baru saja kemalingan…”
“Apaaa?
Kemalingan? Laporan palsu itu. Palsuuu!”
“Pak,
lapor. Saya baru saja ditabrak…”
“Apaaa?
Ditabrak? Laporan palsu itu. Palsuuu!”
“Lah,
palsu gimana toh, Pak? Lah, ini kepala saya sudah putus.”
Akhir dari novel ini bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah ditebak. Ketika membaca, saya ikut merasa tegang ketika sebuah kasus sedang dalam masa penyelidikan, atau bahkan geregetan ketika sesuatu terjadi diluar dugaan, tawa juga hadir karena ada sedikit unsur komedi yang dituliskan. Begitu banyak hal yang terjadi dalam novel ini, dalam negeri ini, begitu pula dengan kehidupan Jenderal Hoegeng. TIdak ada salahnya untuk membaca dan mengetahui sendiri apa yang terjadi pada Jenderal Hoegeng dan bagaimana kasus-kasus tersebut akhirnya ditangani. And for me, I give it 10 out of 10!
http://hereyougo-al.blogspot.co.id/2015/03/halaman-terakhir-kisah-pahit-jenderal.html?showComment=1446616980752#c7302509947813417513
Senin, 12 Oktober 2015
Rabu, 30 September 2015
REVIEW Halaman Terakhir oleh Luckty Giyan Sukarno di Facebook
Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan. Akan terasa sedikit gatal, lantas kita akan menggaruknya pelan-pelan dengan rasa nikmat luar biasa. Makin sering dan makin banyak diterima, gatal itu akan semakin intens, menggaruknya pun semakin keras, hingga bernanah. Karena itu, jauhi kuman dan upayakan untuk jangan sampai menempel pada bagian tubuh kita. Uang akan membuat tubuh kita selalu gatal bagai luka korengan. (hlm. 131)
Bagi Hoegoeng, menjadi polisi memang bukan perkara mudah. Tanggung jawab yang dimiliki mesti dipikul sepanjang hidup. Dan, mengendalikan diri dalam tanggung jawab itulah yang terpenting untuk dijalani.
Hoegeng mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi ia tahu, kadang sebuah masalah tak sekedar seperti yang terlihat di permukaan; seringkali, bayang-bayang di belakangnya jauh lebih menakutkan!
Beliau tidak pandang bulu dalam bertindak. Pertama, saat anaknya, Aditya mendaftar ke AKABRI. Anaknya ini ingin bergabung di Angkatan Udara dan menjadi pilot pesawat tempur. Beliau tidak mau jika anaknya diterima hanya karena nama besar beliau. Anaknya sempat kecewa dengan keputusannya itu.
Kisah seperti itu tak hanya terjadi pada Aditya. Kepada istrinya pun, ia cukup keras memegang prinsip. Tak banyak yang mengetahui kisah ini. Kadang, ini terasa begitu penuh tekanan, jauh lebih membuatnya tertekan daripada tugas-tugasnya sebagai polisi. Namun, Hogeong selalu meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang memang harus dilakukan.
Membaca kisah Hoegoeng ini, hidupnya nggak beda jauh ama babe sendiri. Meski bukan berlatar belakang militer, tapi beliau amatlah tegas dan disiplin. Dulu kalo berangkat sekolah, telat dari jam waktunya berangkat, bakal ditinggal. Jangankan berangkat sekolah, sampai sekarang pun kalau ada acara keluarga seperti ke pernikahan saudara, kalo jam tujuh ya jam tujuh, lewat dari jam segitu bakal ditinggal, jadi semua saudara udah pada hapal kebiasaan babe ini. Mana ada yang berani ngaret kalo janjian ama babe, gyahahaha... :D
Ada dua kasus besar yang dibahas dalam buku ini. Pertama, tentang kasus pemerkosaan yang menimpa wong cilik. Kedua, tentang penyelundupan mobil mewah besar. Sebenarnya ini perkara yang bisa saja ditaklukkan Hoegoeng bersama anak-anak buahnya yang juga berdedikasi. Permasalahannya adalah dua kasus ini melibatkan orang-orang besar di negeri ini. Yang salah menjadi benar, begitu pula sebaliknya. Hoegoeng mengalami dilematis besar, harus memilih antara hati nurani atau keputusan pihak atas.
Kadang, sebuah vonis memang tak selalu bisa menyenangkan setiap orang, bukan? (hlm. 401)
Awalnya saya sempat ragu membaca ini dalam sekali duduk. Saya memang punya kebiasaan membaca buku dalam sekali waktu, kecuali kumpulan cerpen yang membacanya bisa dicicil tanpa harus selesai bersamaan dalam satu waktu. Tapi, tulisan Mas Yudhi ini mampu menyedot pikiran kita sebagai pembaca. Kita diajak seolah menyusuri tidak hanya kehidupan Hoegoeng semata, tapi juga kisah Sumaryah si gadis lugu yang penuh tekanan, Djaba Kresna dengan liputan dan tulisannya, serta anak buah Hoegoeng yaitu Jati Kusuma dan Wulan Sari.
Dua tokoh terakhir yang saya sebutkan tadi adalah tokoh favorit yang ada dalam buku ini. Sangat mustahil di zaman sekarang ini menemukan polisi seperti sosok Hoegoeng semasa hidupnya, ya minimal seperti Jati Kusuma ama Wulan Sari boleh juga ya, tapi kok sampe sekarang saya sama sekali belum menemukan sosok berdedikasi seperti mereka. Apa saya yang kurang gaul, atau kurang piknik?!? X))
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
- Hidup kadang memang disertai firasat. (hlm. 13)
- Jalanan memang merangkai ceritanya sendiri. (hlm. 27)
- Apa yang tak bisa dicapai seseorang dalam kehidupan jika ia jujur? Orang bisa dicintai, dimuliakan dan dihormati. (hlm. 102)
- Tuhan selalu membalas keteguhan seseorang terhadap nilai-nilai kebaikan. (hlm. 160)
- Jangan takut, semua akan baik-baik saja. (hlm. 179)
- Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya. (hlm. 375)
- Kadang, ada sebuah pertemuan yang akan diingat sepanjang hidup. (hlm. 408)
- Semua keputusan ada alasannya. (hlm. 419)
- Pada akhirnya, semua mesti kembali pada awal mula. (hlm. 424)
- Siapa yang bisa menghindar? Bahkan, malam paling senyap pun akhirnya kalah dari sinar pagi yang paling lemah. Dan, siang paling terik sekalipun, kalah dengan rinai-rinai yang tak bertanda di tubuh. (hlm. 118)
- Sebenarnya mudah saja menilai seseorang itu berbohong atau tidak. (hlm. 200)
- Hidup di bawah bayang-bayang kematian tentu bukan hidup yang nyaman untuk dijalani. (hlm. 319)
- Adakalanya seseorang memang tak lagi bisa melawan, sekeras apa pun ia berusaha. (hlm. 407)
- Percayalah, hari pembalasan itu selalu tiba! (hlm. 414)
- Selalu ada sisi buruk dari berlalunya waktu. (hlm. 421)
Setelah buku ini, saya juga tertarik nih membaca buku bertema sejarah yang juga diterbitkan Noura Books baru-baru ini; 693km; Jejak Gerilya Sudirman. Sebagai anak jebolan IPS, satu-satunya pelajaran sosial yang saya suka adalah sejarah! ;)
Keterangan Buku:
Judul : Halaman Terakhir
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penyunting : Miranda Harlan
Penyelaras aksara : Nunung Wiyati & Sittah Khusnul Khotimah
Penata aksara : Abd Wahab & Alfiyan Rajendra
Desain sampul : AAA
Penerbit : Noura Books
Terbit : Februari 2015
Tebal : 436 hlm.
ISBN : 978-602-7816-65-7
https://www.facebook.com/notes/luckty-giyan-sukarno/review-halaman-terakhir/10152920556532693
Resensi Halaman Terakhir dan Wawancara bersama Yudhi Herwibowo oleh Alvina di Blog Mari Ngomongin Buku
Judul Buku
: Halaman Terakhir
Penulis :
Yudhi Herwibowo
Penerbit :
Noura Books
Tebal : 448
halaman, paperback
Cetakan
pertama : Februari 2015
ISBN : 9786027816657
Pertama
kali saya membaca Untung Surapati karya Mas Yudhi, saya hampir tak bisa
berhenti membacanya. Menurut saya, Mas Yudhi cakap sekali menyusun cerita yang
berdasarkan sejarah. Alurnya mengalir dengan apik dan lancar, seakan akan kita
ikut ada di sana menyaksikan kisahnya. Maka ketika ia menerbitkan satu lagi
bukunya yang berhubungan dengan sejarah, saya langsung memasukkannya ke dalam
daftar baca.
Halaman terakhir menceritakan tentang Hoegeng, mantan Kapolri yang punya riwayat membanggakan. Ada kisah- kisah yang belum selesai saat Hoegeng lengser dari jabatan Kapolri, tetapi ada dua yang merupakan kasus besar yaitu Sum Kuning dan Cahaya. Sum kuning merupakan kasus pemerkosaan seorang gadis penjual telur di Yogyakarta, sedangkan Cahaya merupakan kasus penyelundupan mobil-mobil mahal ke Indonesia.
Sebagai Kapolri, Hoegeng mengikuti perkembangan kasus Sum meski tempat kejadian berjarak ratusan kilometer dari markas besarnya. Sum mengaku telah diperkosa di dalam mobil kombi merah oleh empat orang pemuda. Tetapi polisi setempat mencoba menutup nutupi kasus ini, bahkan mengambil kambing hitam sebagai pelakunya. Desas desus mulai bermunculan, banyak pihak yang menyebutkan bahwa polisi berpura pura menutup mata karena salah satu tersangka memiliki hubungan kekeluargaan dengan seorang Jenderal besar. Apa benar demikian?
Sementara itu, di Jakarta sedang mencuat kasus penyelundupan mobil mewah. Hal yang paling menyesakkan Hoegeng tentang kasus ini, kelak, adalah karena tersangka memiliki hubungan dengan orang yang selama ini sangat dihormati Hoegeng. Sejak itu ia tahu, ia tak akan pernah bisa menyelesaikan kasus ini, bahkan sampai ia lengser dari jabatannya.
Ternyata seperti dugaan saya, buku ini selesai saya baca hanya dalam semalam hari. Padahal biasanya mah saya selalu tersendat sendat saat membaca hal hal yang berhubungan dengan sejarah. Alurnya cepat, gerak gerik tokohnya dilukiskan dengan apik dan membuat pembacanya penasaran, seberapa besar sih masalah yang dihadapi Hoegeng ini. Melalui buku ini juga kita seakan kembali lagi ke Indonesia puluhan tahun lalu, dengan latar yang diceritakan secara sederhana tapi tetap mampu mepermudah pembaca membayangkan adegan demi adegannya.
Hoegeng (source.wiki) |
Karena buku ini juga, saya jadi mencari tahu sejarah dan sepak terjang Hoegeng,
karena jujur saja sebelumnya saya tak tahu Hoegeng itu siapa. Apa sih yang
membuat beliau menjadi sosok istimewa? Ya, ternyata setelah membaca buku ini
saya baru tahu kebaikan dan ketulusan seorang Hoegeng. Sebagai seorang
petinggi, ia jeli dan tegas saat menilai atau menghadapi suatu kasus. Bahkan
meski kasus tersebut berada di luar Jakarta, ia sebagai Kapolri terus mengawasi
bahkan jika perlu turun tangan membantu penyelidikan. Sebagai seorang pribadi,
Hoegeng memiliki sifat ramah dan perhatian bahkan terhadap anak buahnya. Ia
juga sangat menyayangi istri dan keluarganya dan yang lebih utama, ia adalah
seorang yang amat jujur. Contohnya saja ketika istrinya ingin pulang menengok
ayahnya yang sakit di luar negeri, meski sang istri dapat sumbangan uang dari
saudara saudaranya, tapi dengan berat hati Hoegeng tak mengijinkannya pergi
sebab Bagaimana kalau nanti orang orang mengira uang tersebut bukanlah uang
"halal"? Atau ketika Hoegeng dan sang istri memiliki toko bunga yang
kemudian ditutup, karena bagaimana kalau kemudian setiap ada acara, banyak kolega
yang memesan rangkaian bunga ke toko mereka? Bukankah itu akan mematikan
penjualan toko bunga lainnya? Duh, saya rasa istri Hoegeng juga punya hati yang
sama luasnya seperti milik beliau.
Ah sebuah cerita yang apik dan berkesan, memberi teladan bagi kita agar selalu berusaha untuk bersikap jujur.
Nah, saya
juga punya sedikit ngobrol sama Mas Yudhi, sang penulis Halaman Terakhir. Orangnya
baik banget, diemail aja mau njawab loh.. XD
1. Perihal
apa yang membuat Mas Yudhi membuat novel ini? Apakah tawaran dari Mizan atau
memang niatan pribadi? Ceritain dikit donk x)
Awalnya
Penerbit Noura memang punya rencana menovelkan beberapa tokoh inspiratif di
nusantara. Saya dihubungi untuk menulis seorang tokoh. Namun karena kurang sreg
dengan tokoh yang ditawarkan, saya menolak. Sampai akhirnya tokoh Hoegeng
kemudian ditawarkan. Saya kemudian menerimanya dengan sangat yakin.
Tentu untuk
menulis biografi atau novel yang diangkat dari biografi seseorang, penulis
harus memiliki ketertarikan dengan karakter tersebut. Dan sudah sejak lama saya
memang sudah mendengar tentang reputasi Bapak Hoegeng. Saya senang bisa
menulisnya.
2. Sejak
kapan Mas Yudhi mengetahui sosok Hoegeng? Apakah jauh sebelum acara Kick Andy
diputar?
Sebelumnya
saya hanya mendengar tentang sosok Hoegeng samar-samar saja, misalnya seperti yang
sering diungkapkan oleh Gus Dur (dan dipakai sebagai salah satu emdorstment di
cover buku saya). Itu quotes yang sering dipetik di mana-mana. Tapi kisah
Hoegng yang cukup lengkap memang baru saya tahu saat acara Kick Andy tahun 2009
itu.
3. Berapa
lama waktu yang diperlukan Mas Yudhi mulai dari riset sampai naskah jadi? Terus
revisinya berapa bulan sampai naik cetak?
Sebenarnya
penggarapan awalnya tak lebih dari 6 bulan. Ini sudah termasuk riset di
beberapa perpus di Solo dan Jogja, dan mendatangi Mas Aditya Hoegeng di Jakarta
beberapa kali. Namun setelah jadi, sambil menunggu daftar terbit, saya
merevisinya, mungkin sekitar 6 bulan juga.
4. Saya
selalu suka sama cerita cerita Mas Yudhi yang terilhami sejarah. Seperti Untung
Surapati sebelumnya, Novel Halaman Terakhir ini juga padat dengan peristiwa
peristiwa. Apakah Mas yudhi memang suka pelajaran sejarah dari kecil? Apa yang
membuat Mas Yudhi menyukainya?
Saya memang
suka sejarah. Sebelum Untung Surapati saya menulis Pandaya Sriwijaya, bahkan
sebelum itu saya menulis novel Samurai Cahaya, yang walau pun merupakan novel
samurai, sedikit menyerempet soal sejarah Jepang.
Menulis Halaman
Terakhir merupakan tantangan buat saya, karena bila dalam Pandaya Sriwijaya
saya hanya menempatkan sejarah dalam setting, dan dalam Untung Surapati
saya menempatkan keutuhan sejarah begitu kental, di Halaman Terakhir saya
mencoba berada di tengah-tengah. Data sejarah yang sebenarnya sangat banyak
itu, harus saya pilih-pilih agar buku ini tidak menjadi buku yang penuh data.
Saya memang sangat menghindari catatan kaki, karena menyadari bagaimana posisi
novel sebenarnya. Saya tetap harus mengutamakan keasyikan membaca novel,
bagaimana saat pembaca merasa sedih, atau gembira. Inilah saya rasa yang
menjadi tantangan bagi penulis sejarah yang sesungguhnya.
5. Ada ngga
sih, sosok penuh inspirasi lainnya yang amat ingin Mas Yudhi jadikan tokoh
dalam novel karya Mas Yudhi? Kalau ada, siapa?
Sebenarnya
ada beberapa tokoh yang ingin saya tulis. Beberapanya sudah saya tulis dalam cerpen.
Misalnya Raden Saleh, Van Gogh, Amir Hamzah, Tan Koen Swie, dll.
Untuk novel
saya ingin sekali menulis tentang Chairil Anwar, atau Tan Malaka. Tapi
sepertinya sudah banyak penulis yang menulis tentang 2 tokoh itu.
6. Selain 2
kasus terakhir di dalam buku, ada nggak kasus lain yg didapat dari hasil penyelidikan Mas Yudhi?
Sebenarnya
banyak. Beberapanya sempat saya singgung sedikit dalam Halaman Terakhir,
misalnya tentang penangkapan seorang jenderal polisi yang dituduh menjadi
backing seorang pengusaha dan akhirnya memakai ilmu hitam pada Hoegeng. Itu
kisah yang benar-benar ada. Atau kisah tentang fitnah tentang kepemilikan
perusahaan topi helm. Itu juga ada. Namun memang beberapanya tak cukup besar.
Dua kasus terakhir itulah yang memang cukup besar. Walau secara tegas dalam
novel itu, saya tak sekali pun menyebut tentang 2 kasus itu, dengan sebutan
yang dikenal oleh masyarakat selama ini. Hanya saja blurps yang dibuat penerbit
di cover itulah yang mengarahkan pembaca pada 2 kasus itu.
7. Apa kesulitan
paling besar yang Mas Yudhi hadapi saat membuat novel ini?
Kesulitannya
mungkin saya merasa terlalu banyak mengutip buku lainnya. Ini membuat saya tak
nyaman. Kadang ada beberapa bagian yang saya pikirkan lama sekali. Misalnya
percakapan Hoegeng dengan beberapa tokoh ternama, misalnya Presiden Soekarno.
Rasanya aneh saat saya hanya menyalin saja percakapan itu. Tapi karena itu
merupakan autobiografi, saya juga tak cukup berani mengubahnya. Sehingga yang
kemudian saya lakukan hanyalah berusaha membuat kalimat-kalimat berbeda, dengan
makna yang hampir sama. Saya pikir ini bisa dimaklumi.
Buku
autobiografi Hoegeng yang ditulis Abrar Yusa dan Ramadhan KH itu memang
merupakan buku yang sangat lengkap, hampir kisah-kisah masa lalu Hoegeng saya
ambil dari buku itu. Sebenarnya saya sempat melakukan crosscheck dengan
bertanya beberapa pertanyaan pada Mas Aditya Hoiegeng, namun jawabannya kurang
lebih sama dengan yang ada di dalam buku.
8. Ada
harapan khusus ngga terhadap pembaca yang udah membaca buku ini? Misalnya apa
menginspirasi, atau mengenal sosok Hoegeng lebih dekat, atau sebagainya gitu?
Saat saya
pertama kali datang, Mas Aditya Hoegeng bertanya pada saya, kenapa saya memilih
Hoegeng? Ia bercerita bagaimana buku sebelumnya –yang merupakan kumpulan esai
tentang Hoegeng- menumpuk di gudang penerbit dan tak laku, hingga kemudian
diupayakanlah agar buku itu dapat tersebar dengan mengajukannya pada acara Kick
Andy.
Saya sudah
tahu bagaimana posisi buku saya ini kelak, tapi pertimbangan menulis tentu bukan
sekadar masalah laku dan tak laku, ada yang harus diupayakan lebih dari itu.
Menulis sosok Hoegeng, seperti menjadi keharusan bagi saya, di mana kondisi
kepolisian kita saat ini ada dalam posisi yang tak cukup dipercaya oleh publik.
Saya merasa para calon polisi dan polisi muda seperti kehilangan pegangan
tentang sosok panutan. Hadirnya sosok Hoegeng, saya rasa dapat -sedikit-banyak-
mengembalikan keyakinan itu. Dan saya berharap semuanya menjadi lebih
baik.
Terima
kasih Mas Yudhi, saya pribadi berharap semoga Mas Yudhi makin banyak
menulis kisah-kisah yang menorehkan sejarah lainnya :)
http://www.orybooks.com/2015/08/resensi-halaman-terakhir-dan-wawancara.html
Langganan:
Postingan (Atom)